JABAR NEWS | PURWAKARTA – Adanya kebijakan Bupati Kabupaten Purwakarta Dedi Mulyadi yang akan menghabiskan Keramba Jaring Apung (KJA) dengan istilah Zero KJA yang ada di Waduk Jatiluhur ternyata mendapat penolakan dari para petani KJA yang selama ini bergantung hidup dari hasil dari KJA tersebut.
Menanggapi adanya penolakan dari para petani KJA, pihak Perum Jasa Tirta (PJT) II Jatiluhur melalui General Manager Wilayah IV PJT II Jatiluhur, Mario Mora Daulay mengatakan, saat ini keberadaan KJA memang sudah melebihi kapasitas yang ada, dimana idealnya hanya bisa menampung 4 ribu KJA, menurut data sudah ada sekitar 23 ribu KJA yang beroperasi, sehingga pada tahun 2014 pihak PJT II bekerjasama dengan Pemerintah Daerah telah melakukan penertiban untuk mengurangi jumlah KJA yang ada.
“Sebenarnya awal tahun ini, PJT II sendiri telah memiliki program penertiban KJA dengan jangka waktu selama 2 tahun namun kemudian, ketika Bupati menginstruksikan harus selesai dalam jangka waktu 6 bulan, kita akan mendukung kebijakan itu semampu kita,” kata Mario saat ditemui di ruang kerjanya, Kamis (12/01/2017).
Mario mengungkapkan, untuk Zero KJA ini Bupati menetapkan target selama 6 bulan melalui Operasi Waduk Jatiluhur Herang dengan melibatkan beberapa unsur, seperti Pemerintah Daerah, PJT II selaku Operator Waduk Jatiluhur, dibantu TNI dan Polri.
“Bupati sebagai Pemimpin Daerah memiliki kewenangan dalam mengeluarkan kebijakan dan kami mendukung kebijakan tersebut, terlebih ini adalah upaya mengembalikan kualitas air jatiluhur,” ungkapnya.
Mario menjelaskan, banyaknya KJA di Waduk Jatiluhur memang memiliki dampak negatif bagi turbin pembangkit listrik miliki PJT II dimana rata – rata pakan ikan yang digunakan petani mengandung bahan kimia sedangkan peralatan turbin terbuat dari besi yang bisa menyebabkan peralatan tersebut berkarat karena kadar asam air Jatiluhur saat ini sangat tinggi.
“Waduk Jatiluhur merupakan objek vital yang keberadaannya harus kita jaga dan dipelihara bersama, selain adanya pembangkit listrik, kebutuhan air bersih di Jakarta disuplay dari Jatiluhur, oleh sebab itu mutu air pun harus dijaga,”jelasnya.
Untuk diketahui, keberadaan KJA di Waduk Jatiluhur telah ada sejak 1988 dimana Pihak PJT II mengizinkan warga lokal membangun KJA sebagai dispensasi akibat lahannya terendam. Adapun ledakan populasi KJA mulai terjadi sejak 2007 dan puncaknya pada 2013 hingga sekarang. (Zal)
Jabar News | Berita Jawa Barat