Inilah Yang Terjadi Saat Gunung Agung Meletus di Tahun 1963

JABAR NEWS | JAKARTA – Dalam sejarahnya, letusan Gunung Agung di Kabupaten Karangasem, Bali, pada tahun 1963 tercatat menurunkan suhu bumi sebesar 0,4 derajat celcius.

Hal itu terjadi karena material vulkanik berupa aerosol sulfat dari gunung itu terbang hingga jarak 14.400 kilometer dan melapisi atmosfer Bumi.

Letusan itu juga disertai abu vulkanik yang ke luar vertikal dari kawah Gunung Agung setinggi 20 kilometer. Data tersebut merupakan satu dari sedikit fakta letusan Gunung Agung yang dihimpun Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB).

Juru bicara BNPB, Sutopo Purwo Nugroho, menyebut data yang tersedia tentang aktivitas gunung itu sangat terbatas. Saat itu, letusan Gunung Agung berlangsung dari 2 Februari 1963 hingga 27 Januari 1964.

Baca Juga:  Kota Bandung Tingkatkan Kewaspadaan Megathrust Selat Sunda

Merujuk data yang dihimpun dari catatan Badan Geologi, UNESCO (1964), Jurnal Science (1978), dan Bulletin Vulcanology (2012), letusan itu menewaskan 1.549 orang.

“Sebanyak 1.700 rumah hancur. Sekitar 225.000 orang kehilangan mata pencaharian, dan 100 orang juga mengungsi,” ungkap Sutopo di Jakarta, belum lama dikutip dari laman jpp.go.id, Rabu (11/10/2017).

Bukan hanya saat letusan, Sutopo menyebut korban jiwa ketika itu juga muncul pascaletusan, sekitar 200 orang tewas akibat hujan membuat lahar meluncur ke sisi selatan Gunung Agung. Lahar itu menyebabkan 316.518 ton produksi pangan di sepanjang aliran lahar Gunung Agung rusak.

Sebelum 1963, Gunung Agung tercatat pernah meletus pada 1808, 1821, dan 1843 dengan tiga periode letusan yang bersifat eksplosif, yang ditandai lontaran batuan pijar, lava, dan hujan abu.

Baca Juga:  Duh! Achmad Fahmi Sebut 120 Hektare Lahan Pertanian di Sukabumi Terancam Gagal Panen, Ini Sebabnya

Pemerintah dan masyarakat Bali saat ini disebut lebih siap menghadapi potensi letusan Gunung Agung dibandingkan pada tahun 1963.

Selain itu, menurut Sutopo, berbagai lembaga pemerintah lintas sektor kini memiliki instrumen berbasis teknologi untuk mengawasi aktivitas gunung api itu.

Lembaga Antariksa Nasional, lanjut Sutopo, memantau Gunung Agung melalui satelit. Sementara, Pusat Vukanologi dan Mitigasi Bencana Geologi mengawasi dan mengolah data aktivitas gunung itu melalui metodologi terkini.

“Tahun 1963, itu semua belum ada. Masyarakat tetap berada di sana, tiba-tiba ada letupan eksplosif yang seketika menyebabkan korban jiwa,” ujar Sutopo.

Baca Juga:  Gandeng LAZ, Jawara Hidupi Usaha Kecil Dengan Bantuan Modal

Melalui pemantauan dan pengolahan data, Sutopo menyebut pemerintah saat ini dapat memetakan secara rinci daerah-daerah yang berpotensi terdampak letusan Gunung Agung.

Sejak status gunung itu ditingkatkan ke level Awas pada 22 September lalu, misalnya, pemerintah menetapkan tiga kawasan rawan bencana di sepanjang 12 kilometer di bawah kawah Gunung Agung. “Sekitar 62.000 penduduk yang tinggal di radius berbahaya harus mengungsi,” ujar Sutopo.

Tak hanya soal teknologi, Sutopo menyebut masyarakat di sekitar Gunung Agung telah belajar dari pengalaman buruk selama bencana letusan tahun 1963. Merujuk pengamatan BNPB, sebagian besar warga Karangasem mengungsi secara mandiri sejak pekan lalu. (*)

Jabar News | Berita Jawa Barat