JABARNEWS | GARUT – Sistem rantai pasok atau distribusi pangan yang kurang tertata baik di Jawa Barat menjadi penyebab utama lonjakan harga pangan atau menghilangnya sejumlah komoditas pangan di pasaran.
Demikian diungkapkan Wakil Gubernur Jawa Barat Deddy Mizwar. Menurutnya hal tersebut pun membuat harga beras melonjak sehingga pemerintah berencana mengimpor beras.
“Lonjakan harga beras ini penyebabnya ada di rantai pasok, ini yang harus dibenahi. Inilah penyebab masalah sejak puluhan tahun. Karena distribusi yang yang kurang tertata, akhirnya muncullah spekulan dan impor,” kata Deddy Mizwar saat mendampingi Menteri Pertanian RI di Pameungpeuk, Kabupaten Garut, Selasa (6/2/2018).
Dikatakannya, Pemerintah Provinsi Jawa Barat, saat ini tengah memperkuat upaya pemantauan harga komoditas pangan di Jawa Barat. Hal ini dilakukan bersama sejumlah pihak lainnya untuk mengendalikan angka inflasi di Jawa Barat.
Tidak hanya itu, lanjutnya, Jabar pun memiliki Early Warning System (EWS) atau sistem peringatan dini terhadap kenaikan harga pangan di Jawa Barat yang diluncurkan Forum Koordinasi Pengendalian Inflasi (FKPI) Provinsi Jawa Barat dan Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) se-Jawa Barat tahun lalu. Sistem peringatan dini ini terdapat pada aplikasi Portal Informasi Harga Pangan (Priangan) yang dapat diinstal masyarakat melalui Google Play pada smartphone.
Menurutnya, untuk memutus permasalahan tingginya harga pangan karena kurang pasokan, harus ditetapkan data yang valid. Contohnya, setiap harinya didapat data panen bahan pangan dari berbagai kecamatan, mulai dari jenis pangan, jumlah, hingga harganya.
“Contoh, nanti penyuluh pertanian melapor berapa panen padi, jagung, cabai, bulan ini. Panen di desa mana, nanti dikumpulkan datanya per kecamatan. Nanti ketahuan Jabar punya beras, jagung, cabai, berapa dan di mana saja. Harus terdata semua, termasuk ayam dan daging. Dengan data akurat dan bukan kira-kira, tidak akan ada spekulan,” katanya.
Lebih lanjut Demiz pun mengatakan, dengan adanya jaringan data yang tepat mengenai setiap hasil pangan di Jawa Barat, katanya, akan menghindari spekulasi kebutuhan impor yang tidak tepat, petani akan mendapat harga jual bahan pangan yang layak, dan harga pangan di pasaran terjamin stabil.
Rantai pasok dengan data yang belum valid, katanya, menyebabkan sejumlah pihak memanfaatkannya untuk kepentingan bisnis. Biasanya pemerintah tidak mau mengambil risiko saat komoditas pangan harganya melonjak dan akhirnya memilih mengimpor bahan pangan.
“Kalau datanya valid, bisa saja jadinya tidak perlu impor. Makanya sekarang, untuk menghindari permasalahan itu, harus selalu ada data valid yang terukur secara real time. Kita bisa buat smart village yang bisa menyediakan data hasil pangannya tiap saat,” katanya.
Dalam hal itu, campur tangan generasi muda dan akademisi dalam pertanian, katanya, mutlak dibutuhkan untuk moderenisasi pertanian di Jawa Barat. Karenanya, dibutuhkan regenerasi petani untuk mempertahankan kedaulatan pangan nasional, dimulai dengan mengubah keidentikan antara profesi petani dengan kemiskinan. (wan)
Jabarnews | Berita Jawa Barat