Rekonsiliasi Budaya Dan Sejarah, Tiga Gubernur Bangun Harmoni

JABARNEWS | SURABAYA – Budaya damai atau rekonsiliasi dapat dibangun melalui kejujuran, hidup berbagi, saling menghormati, dan merawat perbedaan.

Pemerintah Provinsi Jawa Barat, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), dan Pemerintah Provinsi Jawa Timur, membangun hubungan tersebut lewat harmonisasi budaya Sunda-Jawa.

Gubernur Jawa Barat, Ahmad Heryawan (Aher) menilai, sudah bukan saatnya lagi mempertahkan isu-isu emosional dari masa lalu, termasuk mengungkit-ungkit peristiwa Pasunda Bubat, atau Perang Bubat pada abad ke-14.

Meskipun kata Aher, peristiwa tersebut baru ditulis dua abad setelahnya, yakni pada abad ke-16 dalam sebuah karya sastra berjudul Kidung Suṇḍa (Kidung Suṇḍāyana).

Berikut informasi secara rinci mengenai peristiwa terjadinya perang hampir tidak mungkin diketahui. Kalaupun kemudian ada tulisan yang mengisahkan peristiwa tersebut secara lengkap, hampir dipastikan bobot imajinasi dari karya tersebut jauh lebih besar tinimbang bobot historisnya.

“Pasunda Bubat adalah sejarah, fakta empiris yang tidak terhapus dari catatan Bangsa Indonesia. Peristiwa Pasunda Bubat tidak boleh dilupakan, tapi maafkanlah pihak yang dianggap bersalah, hilangkan dendam sejarah, berdamailah dengan sejarah, jadikanlah sebagai pelajaran agar kejadian buruk di masa lalu tidak terulang di masa depan,” kata Aher pada kegiatan bertajuk ‘Harmoni Budaya Sunda-Jawa’, di Hotel Bumi Surabaya, Selasa (06/03/2018).

“Marilah kita jalin harmoni budaya Sunda Jawa menjadi sebagai pemersatu dan penguat keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia,”sebutnya.

Apalagi, sambung Aher, ada tanggung jawab bersama dalam membangun bangsa Indonesia bagi setiap elemen bangsa.

Baca Juga:  Ngeri! Ini Alasan Abu Janda Dukung Prabowo Subianto di Pilpres 2024

“Tidak boleh lagi ada keretakan antaretnis karena semua disatukan untuk Indonesia,” ungkapnya.

Salah satu bentuk, atau simbolisasi rekonsiliasi, sekaligus keakraban budaya tersebut adalah dengan menghadirkan Jalan Sunda, dan Jalan Padjadjaran di Kota Surabaya.

Sebuah jalan setiap harinya akan dilalui masyarakat untuk beraktivitas. Maka dengan rekonsiliasi budaya lewat cara ini, diharapkan dapat menghadirkan kesatupaduan etnis Sunda-Jawa yang menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat, dalam bingkai kesatuan persatuan, dan kebhinekaan di lingkup NKRI.

“Ini adalah rekonsiliasi budaya, rekonsiliasi sejarah, rekonsiliasi antaretnis besar Jawa dan Sunda, dan tentu rekonsiliasi ini pengaruhnya sangat besar untuk persatuan dan kesatuan bangsa,” ujar Aher.

Begitu pun di Jabar, rencananya akan hadir pula Jalan Majapahit dan Jalan Hayam Wuruk yang akan ada di Kota Bandung.

Pun sebelumnya, DI Yogyakarta sudah terlebih dahulu memiliki nama jalan bernuansa Jawa Barat, yaitu Jalan Padjadjaran dan Jalan Siliwangi.

Lewat harmoni budaya tersebut, Aher berharap akan hadir keakraban di antara masyarakat Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur, yang semakin erat.

“Uniknya, di tahun politik ini yang ramai dengan isu perpecahan, kita malah bersatu,” ujar Aher.

Adapun Jalan Siliwangi di Surabaya, diakomodir dari Jalan Gunungsari (sebagian), mulai dari pertigaan Jalan Gajah Mada sampai dengan pintu masuk tol Gunungsari.

Baca Juga:  Uya Kuya Disebut Bisa Bantu Ungkap Kasus Pembunuhan Brigadir J

Sedangkan Jalan Pasundan diakomodir dari sebagian Jalan Dinoyo yang dimulai dari perempatan Jalan Keputran (Jalan Keputran, Jalan Sulawesi, Jalan Dinoyo, Jalan Pandegiling) sampai pertigaan Jalan Majapahit (Jalan di depan Universitas Widya Mandala Surabaya).

Tiga Gubernur

Tiga Gubernur, di antaranya Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan, Gubernur Jawa Timur Soekarwo (Pakde Karwo), dan Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono X, me-launching atau meluncurkan dua nama jalan tersebut.

Gubernur Jawa Timur, Soekarwo menyebut upaya rekonsiliasi yang diupayakan, merupakan langkah berani yang juga layak ditempuh oleh semua elemen bangsa. Karena keberagaman keragaman merupakan sumber kekuatan bangsa Indonesia.

“Semoga inisiatif yang kita lakukan kemarin di Yogyakarta, sekarang di Jawa Timur, di Surabaya, dan kemudian akan dilakukan di Jawa Barat, membawa prospek masa depan sosial yang baik dalam ‘nation character building’ atau pembangunan jiwa bangsa,” ungkap Pakde Karwo.

Pakde Karwo menyambungkan, bahwa penting bagi pemuda, mengetahui peristiwa sejarah Pasunda Bubat sebagai peristiwa budaya. Disamping menjaga keakraban budaya yang berkesinambungan, sebagai inspirasi untuk daerah lain.

“Kami masyarakat Jawa Timur berterima kasih atas kebesaran jiwa Kang Aher, juga Sri Sultan Hamengku Buwono dalam memfasilitasi pertemuan ini. Semoga jadi bagian penting, jadi hadiah penting bagi Kang Aher sebelum masa jabatannya habis,” kelakar dia.

Kang Aher, sebut Pakde Karwo, telah menempuh jalan yang luar biasa setelah 661 tahun sejarah Perang Bubat. Kini sejarah tersebut diselesaikan dengan hati yang tulus. Juga Sultan Hamengku Buwono sebagai ‘pengadem’ atau penentram keadaan, yang juga sosok pemimpin yang juga pelindung budaya Jawa.

Baca Juga:  Main Teater, Bakat Terpendam Indy Barends

“Semoga semua selesai, dengan menghadirkan Jalan, ini bagian simbolik, terpenting hati kita kini bebas menerima, lelaki Jawa cinta perempuan Sunda atau sebaliknya, silahkan persunting,” ujarnya.

Sementara itu, Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono X, mengatakan pentingnya mengetahui sejarah, sekaligus menghilangkan sekat- sekat kesalah fahaman yang telah terjadi di masa lalu.

“Karena setiap etnis yang ada, menjadi bagian bangsa Indonesia itu sendiri,” kata Sultan.

Rekonsiliasi antarbudaya, antaretnik membutuhkan prasyarat utama, yakni memperbaiki hubungan antar manusia, yang sebelumnya mengalami ‘kecelakaan sejarah’. Maka harmoni budaya yang dilakukan Jawa Barat, DIY, dan Jawa Timur, menjadi wahana solusi jangka panjang untuk manangkis permasalahan tersebut.

Sri Sultan mengimbau, bangsa Indonesia supaya menafsir sejarah secara kritis. Kidung Sundayana dibuat di abad ke- 16, sementara perang bubat terjadi pada abad ke-14. Adapun seorang penulis Belanda pada abad ke-20, CC Berg, sejarawan Belanda, menerbitkan teks dan terjemahan Kidung Sunda pada tahun 1927 yang mengurai Peristiwa Bubat, yang bisa saja hal tersebut memiliki sangkut paut politik di dalamnya. (Wan)

Jabarnews | Berita Jawa Barat