JABARNEWS | SUKABUMI-Sejumlah pengusaha tahu di Kota Sukabumi mulai resah. Hal itu lantaran, harga bahan pokok untuk pembuatan tahu masih tinggi, sehingga mengancam usahanya.
Salah seorang pengusaha tahu ‘Kuring Sukabumi’, Ali Rahman Alfarizi mengatakan, harga kedelai saat ini menembus angka Rp.7.400 sampai Rp.7.500 per kilogram (kg) yang semula Rp.6.500 hingga Rp.6.700 per kg. Harga tersebut diperkirakan akan terus mengalami kenaikan.
“Harga kenaikan kedelai ini sudah hampir tiga bulan terakhir ini. Dan sampai sekrang harga belum turun lagi,” kata Ali dikutip dari radarsukabumi di lokasi pembuatan Tahu Kuring Jalan Letda T. Asmita Kelurahan Gedongpanjang Kecamatan Citamiang Kota Sukabumi,Sabtu (28/4/2018).
Selain itu, keberadaan kedelai ini pun terkadang sulit didapatkan. Bahkan satu minggu yang lalu, dirinya tidak kebagian stok kedelai di tempat langganannya. Sehingga harus meminta bantuan ke pengurus Koperasi Tahu Tempe Indonesia (KOPTI) Kota Sukabumi.
“Itu pun dijatah, hanya empat karung saja,” keluhnya. Padahal, untuk satu minggu produksi, pabrik Tahu Kuring membutuhkan kedelai sebanyak 1 ton.
Tidak hanya kedelai, harga garam yang menjadi salah satu penunjang pembuatan tahu tersebut dinilai memberatkan. Meski adanya penurunan, namun harga garam terbilang masih mahal. Seperti halnya garam halus yang biasanya dibeli dengan harga Rp.15 ribu per pak, kini masih bertahan pada harga Rp.37 ribu.
Sebelumnya harga garam halus sempat menyampai Rp.52 ribu per pak. Untuk harga garam kroso atau garam kasar pun mengalami masih berharga Rp.175 ribu per karung. Biasanya, garam jenis ini hanya dihargai Rp.75 ribu per karung.
“Kenaikan harga garam ini sudah berlangsung sejak delapan bulan lalu,” tambahnya.
Kenaikan pun tidak hanya pada bahan pokok pembuatan tahu saja. Untuk harga bahan bakar minyak (BBM) dan listrik pun menjadi keluhan para pengusaha. Biasanya penggunaan listrik perminggu hanya mencapai Rp.300 Ribu, kini naik menjadi Rp.500 Ribu. Adapun untuk BBM, perusahaanya kini beralih menggunakan woods pellet yang diproduksi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).
“Kalau pakai solar dan pertalite lebih boros dan harus memiliki ijin pembelian, karena kapasitanya banyak. Saat ini kita menggunakan woods pellet yang lebih ramah lingkungan, murah dan cepat dalam pembakarannya,” terang pria yang gemar mengoleksi motor antik itu.
Dengan kondisi ini, membuat dirinya dilema dan dibayang-bayangi gulung tikar karena kenaikan sejumlah kebutuhan tersebut. Disatu sisi, dirinya tidak dapat menaikkan harga tahu meskipun harga kedelai sebagai bahan baku terus melejit. Karena para dampaknya para pembeli akan mengurangi jatah belanjanya.
Di sisi lain, dia juga tidak dapat mengurangi bahan baku dalam proses pembuatan tahunya. Meski harga mahal, jumlah bahan baku yang digunakan tetap sama seperti dulu.
“Kalau dikurangi bentuknya, maka harus membuat lagi cetakan baru dan tungku pengapiannya pun harus dirubah. Hal itu membutuhkan biaya lagi. Jadi mau gimana lagi, yang terus dijalani dan disyukuri meski keuntungannya kecil,” imbuhnya.
Ia berharap, pemerintah dapat segera mengambil langkah kongkret untuk menangani permasalahan ini. Jika kondisi ini terus berlangsung, akan banyak pengusaha yang gulung tikar karena tidak kuat membeli bahan baku.
“Pemerintah bisa memberikan solusi dan jalan keluar yang bisa dilakukan oleh para pengusaha tahu ini,” pungkasnya. (Yfi)
Jabarnews | Berita Jawa Barat