JABARNEWS | JAKARTA – Tiga aturan baru BPJS Kesehatan hingga saat ini masih menjadi polemik. BPJS Watch mendorong agar pemerintah turun tangan untuk menyelesaikan kontroversi terbitnya tiga Peraturan Direktur Jaminan Pelayanan Kesehatan (Perdiyan) itu.
Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar mengatakan sekarang BPJS Kesehatan menjadi regulator dan menunjukkan sikap perlawanan. Salah satu yang dilawan adalah Kemenkes yang sebelumnya memerintahkan untuk menunda pelaksanaan aturan baru BPJS Kesehatan itu.
“Dirjen Pelayanan Kesehatan Kemenkes pada 18 Juli lalu sudah minta tiga aturan tersebut ditunda. Eh.. direksi menolaknya dengan terus memberlakukan,” katanya, seperti dikutip JPNN.com.
Timboel menilai, jika memang direksi BPJS Kesehatan ingin melakukan efisiensi, seharusnya tidak menimbulkan persoalan di lapangan.
“Saya kira IDI (Ikatan dokter Indonesia, Red), asosiasi dokter spesialisi, asosiasi RS sampai DJSN (minta aturan dicabut) dan Kemenkes yang meminta ketiga perdiryan tersebut ditunda, pasti mereka sudah punya alasan kuat untuk memintanya. Saya yakin, faktanya lembaga tersebut memastikan ada masalah di lapangan bila ketiga aturan itu dilaksanakan,” ujar Timboel.
Dia meminta agar kebijakan yang dilaksanakan tidak berdasar pada ego masing-masing. Para pemangku kebijakan tentang kesehatan seharusnya memperhatikan dampak yang tidak merugikan rakyat. “Duduk bareng dong, jangan merasa benar sendiri,” ucapnya.
Timboel mengingatkan akan salah satu tugas BPJS Kesehatan adalah menarik iuran dari peserta. Nyatanya, hingga 31 Mei lalu, iuran yang belum ditarik menurut catatan BPJS Watch besarnya mencapai Rp 3,4 triliun.
“Coba deh tugas ini diselesaikan dulu. Kalau tugas ini berhasil dilakukan maka defisit bisa diturunkan,” ungkapnya.
Masalah lainnya adalah direksi dianggap tidak mau mendorong pemerintah agar memberikan suntikan dana yang lebih besar. Opsi lainnya adalah menaikan iuran yang seharusnya diberlakukan selama dua tahun sekali. BPJS Watch menilai standar iuran untuk pelayanan kelas tiga adalah Rp 36.000. Kenyataannya, iuran yang diberlakukan sekarang adalah Rp 25.0000.
“Itu saya dorong juga tapi direksi mau teriak soal itu tidak? Mereka cari aman aja. Saya nilai mereka nggak jujur,” ungkapnya.
Jika pilihan untuk menaikan premi iuran dianggap tidak sesksi bagi pemerintah karena memasuki tahun politik, Timboel menyarankan agar iuran mandiri tidak naik. Namun pemerintah harus menaikan iuran peserta penerima bantuan iuran (PBI).
“Kalau pemerintah takut di tahun politik saat ini, yang dinaikkan iuran PBI saja. Itu pun nggak harus jadi 36.000, cukup 27.000 sehingga bisa nambah Rp 4,4 triliun,” ungkapnya.
Sementara itu, Direktur BPJS Kesehatan Fahmi Idris mengatakan masalah defisit keuangan lembaganya adalah urusan pemerintah. Dia lebih fokus pada pelayanan masyarakat. “Kemenkes dan Kemenkeu selalu mempersiapkan ini (keuangan, Red),” ungkapnya.
Fahmi juga menampik adanya berita pencabutan manfaat yang diatur dalam Perdiyan nomor 2, 3, dan 5 tahun 2018. Menurutnya Perdiyan itu tidak mencabut manfaat bagi peserta BPJS Kesehatan. “Kita mengantur manfaat ini agar lebih baik. Kita atur utilisasi (pemanfaatan, Red) karena tidak ingin biaya kesehatan tidak efisien,” ujarnya.
Dia mengamini jika pengaturan manfaat adalah kewenangan Presiden. Sedangkan mengenai ucapan Menkes yang minta penerapan aturan ditunda dan DJSN tegas minta Perdiyan nomor 2, 3, dan 5 dicabut saja, Fahmi tetap ingin menjalankan.
Alasannya secara substansial, BPJS Kesehatan tidak mengurangi atau menambah manfaat. “Kami meyakini ini dengan baik. Proses kami jalani baik,” katanya. Dia pun belum bisa berbuat banyak sebab belum menerima surat secara resmi dari DJSN. (Anh)
Jabarnews | Berita Jawa Barat