Ini Tiga Alasan Pelemahan Rupiah Kini Berbeda Dengan Krisis 1998

JABARNEWS | JAKARTA – Kecenderungan rupiah bergerak melemah terhadap dollar Amerika Serikat masih berlanjut. Kemarin, rupiah menyentuh Rp 14.815 per dollar AS, level terendah dalam 20 tahun terakhir.

Namun, kendati semakin dekat dengan level pada saat krisis moneter 1998, pelemahan rupiah saat ini sebenarnya sangat jauh berbeda dibandingkan dengan situasi saat krisis, dua dekade silam

tersebut. Setidaknya, ada tiga alasan yang menjadi buktinya.

Pelemahan tidak drastis rupiah yang terjadi saat ini relatif berlangsung secara perlahan dan tidak drastis. Sejak awal tahun hingga level terendahnya, rupiah melemah 9,3%. Bandingkan dengan pelemahan rupiah yang terjadi saat krisis 1998. Tahun itu, pada 17 Juni, rupiah mencapai level terendahnya, Rp 15.250 per dollar AS.

Dihitung dari sejak awal tahun, nilai tukar rupiah terjun 124,39%. Tidak cuma itu. Volatilitas pergerakan nilai tukar rupiah terhadap dollar AS selama krisis moneter 1997/1998 juga sangat

tinggi dan bergerak dalam rentang yang lebar. Perinciannya, pada 1997, rupiah bergerak di kisaran Rp 2.362 – Rp 5.850 per dollar AS.

Baca Juga:  Wow! Hari Pertama Larangan Mudik di Kota Bandung, Ratusan Kendaraan Diputarbalikan

Adapun, uktuasi harga harian sepanjang tahun itu bisa menguat 12,26% dan melemah 13,21%. Tahun 1998, rupiah bergerak pada rentang Rp 5.650 – Rp 15.250 per dollar AS. Dalam satu hari, rupiah bisa menguat 20,66% atau melemah 24,11%.

Nilai rupiah yang terjun bebas, diikuti dengan uktuasi yang tinggi, ketika itu membuat hitungan bisnis kacau dan masyarakat panik. Berbeda dengan kondisi sekarang, di mana pelaku usaha seharusnya masih bisa menyerap efek dari pelemahan rupiah yang tidak drastis dengan volatilitas yang relatif tidak terlalu tinggi.

Sebab, dibandingkan gejolak pada tahun 1997/1998, pergerakan rupiah saat ini bisa dibilang relatif kalem, yakni di kisaran Rp 13.542 – Rp 14.815 per dollar AS.

Baca Juga:  Ubah Kebiasaan Sabung Ayam, Warga Sukamulya Cianjur Lakukan Ini

Begitupun pergerakan harga hariannya, hanya menguat 0,98% dan melemah 0,61%. Cadangan devisa jauh lebih besar Kendati turun dari posisi akhir tahun 2017, posisi cadangan devisa saat ini masih jauh lebih besar dibandingkan dengan kondisi saat krisis 1998.

Saat itu, cadangan devisa Indonesia hanya mencapai US$ 23,61 miliar. Sedangkan, per akhir Juli 2018, cadangan devisa mencapai US$ 118,3 miliar. Itu berarti, lima kali lipat lebih besar

ketimbang cadangan devisa 20 tahun silam.

Dengan cadangan devisa yang jauh lebih besar, bank sentral memiliki lebih banyak “modal” untuk meredam gejolak nilai tukar. Melihat pelemahan hari ini, misalnya, Bank Indonesia turun mengintervensi pasar sehingga pelemahan rupiah tidak terlalu dalam. Singkatnya, masyarakat, termasuk pelaku pasar dan dunia usaha, tidak perlu khawatir rupiah akan memperlihatkan baik buruk kondisi makroekonomi suatu negara.

Baca Juga:  Wali Kota Bandung: Selesaikan Banjir Harus Koordinasi Bersama

Logikanya, tidak ada investor yang mau menempatkan uangnya di negara yang tengah sakit. Ketika bank sentral AS mengerek suku bunga, memang terlihat investor asing menarik dananya dari pasar surat utang Indonesia. Namun, sejak awal bulan ini,asing kembali masuk ke pasar surat utang.

Bahkan, per akhir pekan lalu, asing mencatatkan beli bersih Surat Berharga Negara (SBN) sebesar Rp 6,92 triliun. Itu berarti, kepercayaan investor asing terhadap Indonesia masih kuat.

Ini memberi harapan, nilai rupiah ke depan akan cenderung stabil atau tidak akan jatuh terlalu dalam. Memperkuat keyakinan itu, lembaga pemeringkat utang Fitch Ratings mengarmasi peringkat BBB untuk surat utang Indonesia dengan outlook stabil.

Peringkat ini menunjukkan Indonesia termasuk di dalam kategori layak investasi (investment grade). (Wan)

Jabarnews | Berita Jawa Barat

Sumber: Analisa Keuangan Deputi III Kantor Staf Presiden Republik Indonesia