JABARNEWS | JAKARTA – Wakil Ketua DPR Fadli Zon menyoroti serius dugaan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang dialami lebih dari satu juta masyarakat Uighur di Xinjiang, Tiongkok. Dia mendesak pemerintah Indonesia untuk bersuara membela etnis yang mayoritas beragama Islam tersebut.
Menurut Fadli, berdasarkan pemberitaan media internasional, perlakuan diskrimiantif dan tindakan represif pemerintah Tiongkok terhadap masyarakat Uighur sebenarnya sudah berlangsung cukup lama.
“Tapi, sayangnya belum ada negara muslim, termasuk Indonesia, yang berani mengecam tindakan pemerintah Tiongkok,” kata Fadli dalam siaran persnya, Sabtu (15/12).
Menurut wakil ketua umum Gerindra itu, meski diberikan status otonomi, penduduk muslim di Xinjiang mengalami perlakuan represif. Mereka mengalami perlakukan diskriminatif, baik diskriminasi agama, sosial, maupun ekonomi.
Bahkan, lanjut dia, berdasarkan hasil investigasi UN Committee on the Elimination of Racial Discrimination dan Amnesty International and Human Rights Watch yang dikeluarkan pada Agustus lalu, sekitar dua juta warga Uighur ditahan otoritas Tiongkok di penampungan politik.
“Banyak para tahanan yang dipenjara untuk waktu yang tidak ditentukan dan tanpa dakwaan. Bahkan ironisnya, penahanan tersebut tidak sedikit yang berujung pada penyiksaan, kelaparan, dan kematian,” jelasnya.
Dia menambahkan, melihat kenyataan seperti ini seharusnya pemerintah Indonesia bersuara. Tidak diam seperti sekarang.
Sebagai negara dengan jumlah penduduk Muslim terbesar di dunia, Indonesia punya tanggung jawab moral lebih atas nasib jutaan Muslim Uighur. “Sebab jika tidak, ini bisa menjadi bencana kemanusiaan yang lebih besar,” katanya.
Dalam Universal Periodic Review di UN November lalu, lanjut Fadli, sebenarnya masyarakat berharap ada suara tegas dari pemerintah Indonesia. Tapi sayangnya, kata dia, sikap tersebut sama sekali tidak tercermin dalam pernyataan perwakilan pemerintah Indonesia.
“Padahal apa yang dialami Muslim Uighur bukan hanya sekadar diskriminasi agama, namun juga sudah suatu tindak pelanggaran HAM,” ungkapnya.
Menurutnya, kerja sama ekonomi yang sedang dijalin Indonesia dengan Tiongkok, tidak bisa menjadi alasan untuk tetap diam atas nasib jutaan muslim Uighur yang teraniaya.
Politik luar negeri Indonesia menganut prinsip bebas aktif. Sikap Indonesia jelas tidak bisa didikte oleh siapa pun, termasuk oleh Tiongkok. Selain Indonesia memiliki peran alamiah sebagai negara muslim, menjaga ketertiban dunia adalah mandat konstitusi.
“Mandat konstitusi tak bisa dijalankan hanya dengan bersikap netral atau pasif saja. Harus ada ketegasan,” katanya.
Fadli melihat pemerintah bahkan punya modal melakukan upaya persuasif terhadap Tiongkok. Hal ini sangat mungkin dilakukan karena ada kedekatan hubungan pemerintah sekarang dengan RRT.
“Tinggal mau atau tidak. Apalagi sejumlah elite di lingkaran pemerintah saat ini memiliki hubungan yang baik dengan elite pemerintah di China. Semestinya ini menjadi modal tambahan bagi Indonesia untuk bersikap lebih aktif membebaskan jutaan muslim Uighur yang saat ini ditahan di political camp di Xinjiang,” pungkasnya. (jar)
Jabarnews | Berita Jawa Barat