JABARNEWS | BANDUNG – Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) menyampaikan secara resmi terjadinya tsunami yang menerjang Selat Sunda. Tsunami terjadi pada hari Sabtu (22/12/2018) sekitar pukul 21.27. tsunami di Selat Sunda ini di antaranya menerjang pantai di Kabupaten Pandeglang, Serang, dan Lampung Selatan.
Menanggapi hal tersebut, Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVBMG), Kasbani mengatakan, terjadinya tsunami tersebut diduga berkaitan dengan aktivitas erupsi Gunung Anak Krakatau.
“Aktivitas Terkini, pada 22 Desember, seperti biasa hari-hari sebelumnya, Gunung Anak Krakatau terjadi letusan. Secara visual, teramati letusan dengan tinggi asap berkisar 300 – 1.500 meter di atas puncak kawah. Secara kegempaan, terekam gempa tremor menerus dengan amplitudo overscale (58 mm),” katanya.
Pada pukul 21.03 WIB terjadi letusan. Selang beberapa lama terdapat info tsunami. “Pertanyaannya apakah tsunami tersebut ada kaitannya dengan aktivitas letusan, hal ini masih didalami, sebab ada beberapa alasan untuk bisa menimbulkan tsunami,” lanjut Kasbani.
Dirinya mengungkapkan, saat rekaman getaran tremor tertinggi yang selama ini terjadi sejak Juni 2018, tidak menimbulkan gelombang terhadap air laut, bahkan hingga tsunami. Material lontaran saat letusan yang jatuh di sekitar tubuh gunungapi masih bersifat lepas dan sudah turun saat letusan ketika itu.
“Untuk menimbulkan tsunami sebesar itu, perlu ada runtuhan yang cukup masive (besar) yang masuk ke dalam kolom air laut,” jelasnya.
Untuk merontokkan bagian tubuh yang longsor ke bagian laut, diperlukan energi yang cukup besar. Ini tidak terdeteksi seismograf di pos pengamatan gunungapi. Sehingga, masih perlu data-data untuk dikorelasikan antara letusan gunungapi dengan tsunami.
Gunungapi Anak Krakatau yang terletak di Selat Sunda merupakan gunungapi strato tipe A dan merupakan gunungapi muda yang muncul dalam kaldera, pasca erupsi paroksimal tahun 1883 dari kompleks vulkanik Krakatau. Aktivitas erupsi pasca pembentukan dimulai sejak 1927, pada saat tubuh gunungapi masih di bawah permukaan laut.
“Tubuh Anak Krakatau muncul ke permukaan laut sejak tahun 2013. Sejak saat itu dan hingga kini Gunung Anak Krakatau berada dalam fasa konstruksi (membangun tubuhnya hingga besar). Saat ini Gunung Anak Krakatau mempunyai elevasi tertinggi 338 meter dari muka laut (pengukuran September 2018). Karakter letusannya merupakan erupsi magmatik yang berupa erupsi ekpslosif lemah (strombolian) dan erupsi epusif berupa aliran lava,” katanya.
Pada 2016, letusan terjadi pada 20 Juni 2016. Sedangkan pada 2017 letusan terjadi pada 19 Februari 2017 berupa letusan strombolian. Pada 2018, kembali meletus sejak tanggal 29 Juni 2018 sampai saat ini berupa letusan strombolian. (Mil)
Jabarnews | Berita Jawa Barat