Penulis: Asep Gunawan (Bobotoh Persib dan Peminat Komunikasi Orang Sunda, Pegiat Literasi Falsafi, Tinggal di Purwakarta)
Menyaksikan kemenangan Persib di awal-awal laga Liga 1 Indonesia, tentu membuat bangga siapapun yang merasa sebagai bobotoh Persib. Tiga laga awal dilalui Persib dengan perolehan nilai maksimal.
Memasuki jeda waktu libur dua pekan akibat wabah covid-19, Persib menjadi satu-satunya kontestan yang bertengger kokoh di puncak dengan poin sembilan. Rasa bangga itu semakin lengkap karena striker Persib, Wander Luiz, menjadi pencetak gol teratas.
Namun di sisi lain, muncul rasa “hanjeulu” ketika menyaksikan fakta bahwa pasukan inti Persib sekarang ini berbeda dengan sebelum-sebelumnya. Pasukan inti Persib hanya mensisakan Febri Hariyadi sebagai “pituin” orang Sunda, sementara sepuluh pemain inti lainnya adalah pemain asing, naturalisasi dan berasal dari daerah lain.
Pemain Persib “pituin” orang Sunda lainnya hanya menjadi penghangat bangku cadangan, itupun hanya Dedi Kusnandar yang dimainkan secara reguler di tiga laga awal, menggantikan Kim Jefri Kurniawan di atas menit ke-60.
Persib identik dengan Jawa Barat, dan Jawa Barat itu identik dengan orang Sunda. Menjadi hal logis jika pasukan inti Persib idealnya dikawal oleh mayoritas pemain asli Jawa Barat dan Sunda. Jika kenyataannya, pemain Persib “pituin” orang Sunda hanya menjadi cadangan, pasti ada masalah berhubungan dengan kesiapan pemain tersebut.
Sebagai pelatih, Rene Albert tentu tidak ingin berjudi. Rene membutuhkan pemain yang siap tempur, baik secara kualitas skill maupun mental berkompetisi. Tapi ya itu tadi. Bagi bobotoh sejati, kebijakan Rene di tiga laga awal kemarin “asa aya nu kurang afdhol”. Betulkah ini berkaitan dengan rendahnya mental berkompetisi orang Sunda?
Mental Kompetisi
Berbicara tentang mental kompetisi orang Sunda, penulis teringat lontaran kritik budayawan Sunda, Ajip Rosidi, yang disampaikan melalui orasi ilmiahnya saat menerima penganugrahan gelar Doktor Honoris Causa di bidang ilmu budaya Fakultas Ilmu Budaya Universitas Padjadjaran pada hari Senin 31 Januari 2011.
Walaupun konteks kritiknya politis, penulis merasa masih sangat aktual dan kontekstual dengan yang terjadi pada umumnya orang Sunda hari ini, termasuk dalam konteks memahami psikologi komunikasi pemain Persib “pituin” orang Sunda.
Mengutip ucapan siswa STOVIA, Dajat Hidajat, pada tahun 1913 saat menggagas organisasi “Pagoejoeban Pasoendan” (terbentuk tahun 1915), yang mempersoalkan minimnya orang Sunda menjadi siswa kedokteran dibandingkan etnik Jawa dan Melayu, Kang Ajip melontarkan kegelisahan tentang perasaan orang Sunda yang seakan tidak dihargai dalam lingkup nasional.
Kegelisahan itu muncul lebih dari seabad yang lalu. Saat bersamaan, Kang Ajip menyinggung berbagai jabatan di Tatar Sunda yang disandang oleh etnik lain.
Orang Sunda banyak yang menipu diri sendiri dengan menutupi kenyataan dan dengan kata-kata yang menyenangkan hati sendiri. Dengan kata lain, banyak yang bersikap “munafik” alias perkataan tidak selaras dengan apa yang terbersit dalam hati dan keinginannya. Satu contoh misalnya, orang Sunda itu dikenal berbudi halus, suka mengalah dan selalu mendahulukan orang lain. Namun pada kenyataannya, banyak orang Sunda yang justru mau melakukan apa-pun demi sebuah fasilitas dan kedudukan.
Bagi Kang Ajip, sikap “munafik” orang Sunda itu dianggap sebagai satu hal yang wajar, akibat dua faktor yang memicunya. Pertama, akibat feodalisme yang masih tebal pengaruhnya dalam kehidupan orang Sunda. Pengaruh feodalisme Jawa setelah dijajah oleh Kerajaan Mataram pada tahun 1624-1708, melahirkan tingkatan (undak usuk) bahasa Sunda, serta takut menyatakan pendapat secara terus terang. Dan kedua, akibat penjajahan Belanda, orang Sunda menjadi terbiasa mengabdi, memiliki mentalitas ingin terpakai oleh majikan atau atasan, dan tidak berani bersaing dengan orang lain.
Gengsi Ki Sunda
Bila dalam lingkup kepemimpinan nasional Orang Sunda kurang dihargai, masa iya harus berimbas juga pada lingkup klub sepak bola yang selama ini menjadi simbol kebanggaan orang Sunda. Ada 9 pemain “pituin” orang Sunda yang memperkuat Persib di Liga 1 Indonesia tahun ini, yaitu Febri Haryadi, Dedi Kusnandar, Abdul Aziz, Erwin Ramdani, Beckam Putra, Gian Zola, Henhen Hediana, Zalnando dan Mario Jardel.
Hanya dua yang reguler dimainkan. Itupun, yang satu menjadi starter tapi selalu diganti menjelang menit 60, yang satunya lagi menjadi pemain pengganti di atas menit 60. Kesannya Rene seperti terpaksa memainkan, agar tidak disebut sengaja memarkir pemain “pituin” orang Sunda. Kondisi ini harusnya memotivasi pemain Persib “pituin” orang Sunda untuk bangkit dan menunjukan kemampuannya.
Kualitas skill mereka sebetulnya tidak kalah hebat dibandingkan pemain lainnya. Yang mengurangi kualitas skill mereka hanyalah kualitas mental berkompetisi. Kesan inilah yang terlihat dalam tiga laga awal Febri. Performa Febri tidak seluar-biasa seperti biasanya. Kontribusinya dalam menopang serangan dan bertahan sangat minim, sehingga rasional bila kemudian diganti. Menariknya, tergusurnya Febri dari starter di laga kedua, tidak menjadi cambuk untuk meningkatkan performanya di laga ketiganya.
Kalah bersaingnya Dedi oleh Kim dan Omid, seperti pernah dilontarkan Rene, karena Kim dan Omid bermain lebih ngotot dan agresif hingga sangat menguntungkan untuk tim secara keseluruhan. Idealnya sebagai “pituin” orang Sunda, mereka lebih tinggi motivasinya, lebih ngotot dan lebih agresif. Pemain lain boleh bermain karena profesionalismenya, tapi mereka harusnya bermain dengan hati dan “getihna”. Harusnya lebih dari sekedar profesinalisme. Ada yang lebih fundamental dari itu, yakni karena gengsi ki Sunda. (*)
Tulisan ini menjadi tanggung jawab sepenuhnya penulis.