Penulis: Euis Dedah (Pegiat Literasi).
Wabah virus corona melindas secara cepat perekonomian dunia menuju arah resesi. Ancaman depresiasi ekonomi membayangi semua lini kehidupan, diiringi terhambatnya seluruh aktivitas ekonomi. Melejitnya gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK), kemiskinan melonjak, daya beli masyarakat menurun tajam, karyawan menerima pemotongan gaji, perusahaan gulung tikar, bahkan mereka yang bekerja di sektor informal juga turut terdampak.
Mengutip Laporan Bank Dunia, ekonomi global tahun ini diramalkan akan terkontraksi negatif 5,2 persen. Angka proyeksi ini lebih rendah dibandingkan dengan laporan sebelumnya yang terbit pada Januari 2020 dan merupakan resesi terdalam sejak Perang Dunia II. Bahkan, perekonomian negara maju akan terkontraksi negatif 7 persen.
Pada 3 April 2020, Dana Moneter Internasional meramalkan terjadinya resesi yang lebih besar daripada yang terjadi setelah krisis tahun 1930. Direktur IMF mengatakan, “Ekonomi global mengambil jalan negatif yang parah, yang belum pernah terjadi di dunia sejak resesi hebat di tahun dua puluhan abad lalu. Krisis ini tidak ada duanya dan tidak tertandingi di dalamnya. Kita tidak pernah melihat dalam sejarah IMF bahwa pendekatan ekonomi global berada di jalan buntu seperti ini, bahkan situasi ekonomi jauh lebih buruk daripada krisis keuangan global”. (arabia.as.com, 5/4/2020).
Financial Times, (5/4/2020), melaporkan bahwa “Ekonomi Amerika kehilangan 710.000 pekerjaan pada awal Maret. Banyak perusahaan akan bangkrut, dan karena itu akan ada pengangguran yang meningkat. Pertumbuhan global kemungkinan akan menurun sekitar sepertiga.”
Sementara Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) pada (8/4/2020) memperkirakan penurunan dalam perdagangan barang dunia tahun ini karena virus Corona, yang berkisar antara 13 hingga 32 persen. WTO mengatakan bahwa masih ada kabut dampak ekonomi dari krisis kesehatan yang belum pernah terjadi sebelumnya. WTO memperingatkan, kemungkinan penurunannya akan lebih besar daripada penurunan perdagangan yang disebabkan oleh krisis keuangan global 2008-2009 (Aljazeera, Reuters).
Pada bulan Juni 2020 Bank Dunia memproyeksikan dunia akan mengalami resesi global terburuk dalam 80 tahun terakhir. Hingga 29 Agustus 2020, sudah ada 24 negara yang mengumumkan mengalami resesi, diantaranya Perancis, Italia, Hong Kong, Singapura, Jerman, Korea Selatan, Amerika Serikat, Jepang, Filipina, Malaysia, Polandia, dll. Inggris bahkan mengonfirmasi masuk dalam jurang resesi dengan pertumbuhan ekonomi pada kuartal II 2020 negatif hingga 20,4 persen. Terakhir (29 Agustus 2020), Kanada pun mengumumkan negaranya masuk dalam fase resesi.
Dalam sejarah ekonomi, menurut Roy Davies dan Glyn Davies 1996 dalam bukunya, The History of Money From Ancient Time to Present Day, menguraikan sejarah kronologis resesi dibeberapa negara. Menurut keduanya, sepanjang abad 20 telah terjadi lebih dari 20 kali krisis besar yang melanda banyak negara. Resesi yang terjadi di era tahun 1930-an masih dipercaya sebagai yang terbesar yang pernah terjadi di seluruh dunia. Lalu resesi 1975-1981 saat terpuruknya produksi minyak dunia berujung pada krisis keuangan dunia. Semakin mahalnya harga minyak menyebabkan defisit perdagangan AS menjadi berkali-kali lipat untuk membiayai impor minyak mentah, yang akhirnya melemahkan nilai tukar dolar akibat defisit perdagangan AS yang luar biasa hingga membuat seluruh dunia kehilangan kepercayaan terhadap mata uang dollar.
Kemudian krisis pada 1990-1996 saat Indonesia dan Thailand menderita keguncangan besar politik dan ekonomi akibat krisis moneter yang juga disebabkan kebijakan salah IMF tentang cara penanganan beban utang luar negeri Indonesia. Pada saat yang sama, negara Amerika Latin, yaitu Brazil dan Argentina, bersama Turki dan Rusia juga mengalami akibat lanjutan krisis moneter pada 1998-2002.
Pada tahun 2010 lalu akibat krisis yang bermula di AS menyebabkan kondisi ekonomi Eropa turut memburuk. Karena perbankan Eropa tidak luput dari pengaruh ekonomi AS, yang merupakan pangsa pasar ekspor AS.
Makna Resesi Ekonomi – Definisi resesi dengan mengutip dari National Bureau of Economic Research (NBER), lembaga riset ekonomi nirlaba di AS yang berdiri tahun 1920, mengutip Wikipedia, resesi berarti kemerosotan, atau sebuah kondisi dimana Produk Domestik Bruto (PDB/GDP) mengalami penurunan, atau ketika pertumbuhan ekonomi riil bernilai negatif selama dua kuartal berturut-turut atau lebih dari setahun dalam rentang (-0,3%) – (-5,1%) Sedangkan untuk depresi, lamanya krisis berlangsung antara 18-43 bulan, dalam rentang (-14,75%) – (-38,1%). Dengan kata lain, depresi ekonomi merupakan kondisi yang jauh lebih buruk dan lebih lama dari resesi.
Kondisi Indonesia, berdasarkan laporan BPS (Badan Pusat Statistik) menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi RI pada kuartal ke-II 2020 -5,32%, sedangkan di kuartal sebelumnya (kuartal I) 2,97%. Oleh karenanya dalam konferensi pers virtual (5/8/2020), Menteri Keuangan RI menyatakan bahwa Indonesia belum masuk ke fase resesi. Namun, terdapat indikasi kuat bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia masih akan mengalami kontraksi pada kuartal III, sehingga pengumuman fase resesi hanya tinggal menunggu waktu. Menkopolhukam Mahfud MD bahkan memastikan Indonesia akan masuk resesi di tahun ini. Dia memperkirakan ekonomi di kuartal III ini akan minus hingga 2,2 persen (Kumparan.com).
Pertumbuhan ekonomi kuartal II 2020 ini disebabkan oleh kontraksi di berbagai komponennya. Terutama komponen pengeluaran Konsumsi rumah tangga yang memiliki porsi 57,85 persen dari PDB tumbuh minus 5,51 persen. Pembentukan Modal tetap Bruto (PMTB) atau indikator investasi yang menyumbang 30,61 persen dari PDB juga minus 8,61 persen. Ekspor yang memegang porsi 15,69 persen PDB tumbuh minus 11,66 persen. Impor dengan porsi 15,52 persen tumbuh minus 16,96 persen. Konsumsi pemerintah dengan porsi 8,67 persen dari PDB tumbuh minus 6,9 persen. Konsumsi Lembaga Non-Profit yang Melayani Rumah Tangga (LNPRT) dengan porsi 1,36 persen tumbuh minus 7,76 persen.
Resesi ekonomi ini akan menimbulkan efek domino (efek beruntun) di suatu negara. Kegiatan investasi akan semakin menurun, sehingga tingkat produksi barang dan jasa semakin menurun. Efeknya, tingkat pengangguran akan semakin tinggi sehingga daya beli masyarakat makin menurun, imbasnya keuntungan perusahaan turun. Investasi akan makin menurun lagi. Belum lagi problem utang yang jatuh tempo, baik utang negara ataupun swasta, akan mempercepat kejatuhan ekonomi karena krisis utang yang tak mampu dibayar.
Demikianlah efek dari resesi ekonomi. Berbagai upaya untuk mencari jalan keluar dalam menanggulangi resesi atau pun mencegahnya menjadi sebuah kewajiban. Hal ini disebabkan karena Jika tidak teratasi maka negara akan jatuh pada depresi ekonomi (kolaps/ bangkrut). Efek nyata yang dihadapi masyarakat dalam situasi resesi adalah meningkatnya angka pengangguran secara tajam. Efek lanjutan dari hal ini adalah meningkatnya angka kemiskinan dan kelaparan. Data Kamar Dagang dan Industri (Kadin), Indonesia mengalami peningkatan 6,4 juta orang pengangguran baru.
Ekonomi Indonesia sudah terpuruk sebelum pandemi – Sesungguhnya yang perlu disadari bersama bahwa perekonomian Indonesia sudah terpuruk baik sebelum dan saat pandemi. Jadi tidak bijak menyatakan bahwa ekonomi Indonesia saat ini terpuruk disebabkan oleh pandemi Covid-19. Yang terjadi adalah Covid-19 ini justru membuka mata kita akan sangat rapuhnya basis perekonomian Indonesia. Akibatnya semakin terpuruk saat ditempa wabah pandemi ini.
Untuk lebih jelasnya, mari kita lihat keadaan perekonomian Indonesia sebelum pandemi. Utang luar negeri pada September 2019 mencapai Rp 5.569 trilyun, sedangkan pada Nopember 2019 utang luar negeri meningkat mencapai Rp 5.619 trilyun (www.cnbcindonesia.com, 15 Januari 2020).
Adapun pertumbuhan ekonomi di 2019 adalah 5,02 persen. Angka ini lebih rendah dibandingkan tahun sebelumnya 5,17 persen. Angka 5,02 persen itu sama besarannya dengan di tahun 2016 yang berkisar 5,03 persen. Artinya pertumbuhan ekonomi Indonesia stagnan. Cenderung terpuruk, realitasnya kita bisa melihat angka kemiskinan dan pengangguran di Indonesia. Jumlah penduduk miskin pada September 2019 sebesar 24,79 juta. Standar yang dipakai dengan penghasilan sekitar Rp440 ribu per kapita per bulan yang sangat miris, artinya betul-betul sangat miskin. Angka kemiskinan tersebut akan semakin besar bila menggunakan standar dunia yakni 2 dolar AS per hari. Parahnya, dari angka kemiskinan itu, 22 juta penduduk dalam kelaparan yang kronis, sebagaimana laporan resmi ADB.
Belum lagi dalam persoalan sumber daya alam (SDA). SDA Indonesia telah dikuasai asing. Bahkan 5 SDA besar dikuasai asing. Tambang emas di Papua dikuasai Freeport, tambang geothermal Jawa Barat dikuasai Chevron, tambang batubara di Kalimantan, nikel di Sulawesi, dan minyak bumi di banyak daerah semuanya sudah dikangkangi asing. Dan negara – negara besar penikmat investasi pengelolaan SDA di Indonesia adalah AS, China, Inggris, Perancis dan Kanada. Bahkan di masa pandemi ini, korporasi asing semakin mendapat surga dengan disahkannya UU Minerba.
Adapun perbandingan yang bisa kita lakukan setelah masa pandemi ini, ternyata utang luar negeri Indonesia di April 2020 mencapai Rp 5.603 trilyun. Tidak bergeser dari tahun 2019. Walaupun utang luar negeri yang jatuh tempo diklaim telah dibayarkan namun jumlah kemiskinan terus meningkat. Menkeu, Sri Mulyani menyatakan bahwa jumlah kemiskinan meningkat 4,48 juta jiwa dari data di tahun 2019.
Tentunya di masa pandemi itu merupakan masa-masa yang amat sulit. Penerapan karantina wilayah atau PSBB memicu meningkatnya jumlah pengangguran. Di saat demikian, harusnya negara hadir dalam memenuhi kebutuhan hidup penduduknya. Yang terjadi justru kebijakan-kebijakan negara tidak memihak rakyatnya. TKA asal China terus dibolehkan masuk ke Indonesia. Iuran BPJS naik di kala pandemi. Liberalisasi listrik terjadi hingga menyebabkan tagihan rekening listrik di beberapa daerah mengalami kenaikan fantastis di periode sekitar Mei dan Juni 2020. Lebih-lebih disaat pandemi ini UU minerba dan UU Tapera telah disahkan. Artinya lengkap sudah penderitaan rakyat.
Pemberlakuan new normal adalah bukti nyata lepasnya pemerintah dalam upayanya mengurusi rakyat. Masyarakat digiring untuk mampu memenuhi kebutuhannya sendiri, dengan kata lain, negara berlepas tangan dari tanggung jawabnya memenuhi kebutuhan rakyatnya. Jadi tidak mengherankan bila pandemi pun berlarut – larut tidak kunjung tertangani dengan baik. Semakin hari jumlah korban yang terinfeksi Covid-19 terus naik. Bahkan Indonesia dinyatakan di lockdown oleh 59 negara di dunia.
Kondisi ekonomi dunia secara umumpun tak jauh berbeda dengan Indonesia. Data program pangan dunia seperti yang dikutip Oxfam di tahun 2019 terdapat 149 juta mengalami kelaparan tingkat krisis. Sedangkan di tahun 2020 ini, diprediksikan kelaparan tingkat krisis mencapai 270 juta orang. Bahkan pertumbuhan ekonomi negara maju yang melegalkan judi kasino dan togel pun mengalami keterpurukan. AS dengan kota judinya yang terkenal, Las Vegas, pertumbuhan ekonominya di kuartal I 2020 adalah negatif 4,8 persen. Di Uni Eropa, pertumbuhan ekonominya minus 8,3 persen di 2020. Tentunya termasuk di dalamnya ada Portugal dengan Lisbon sebagai kota judinya.
Resesi, tabiat kapitalisme – Persoalan krisis ekonomi dunia yang terus berulang sesungguhnya ada di dalam penerapan ekonomi kapitalis liberal, bahkan sampai resesi dan depresi merupakan tabiat ekonomi kapitalis. Hal ini tentu disebabkan karena fondasi ekonomi yang rapuh. Yang dibangun dari struktur ekonomi yang semu, yaitu ekonomi non riil (pasar modal dan bursa saham, perbankan). Ditambah penggunaan mata uang berbasis dolar / fiat money yang sangat rentan (termasuk oleh sekedar rumor politik hoax). Sistem ekonomi seperti ini, hanya dengan isu kecil saja, mampu meledakkan ekonomi negara. Apalagi jika dilanda isu besar seperti wabah corona seperti saat ini. Dalam sistem ekonomi kapitalisme, resesi adalah hantu gentayangan yang secara periodik akan selalu datang menghampiri. Secara fitrah sistem ekonomi kapitalis tidak mampu memberikan kesejahteraan bagi umat manusia justru sebaliknya akan menimbulkan kesengsaraan. Hal ini dikarenakan berkaitan 5 hal penting yang menjadi akar permasalahan krisis ekonomi global saat ini:
1. Kebebasan Kepemilikan – Dalam pandangan sistem ekonomi Kapitalis, hanya ada 2 kepemilikan yaitu individu (di dalamnya termasuk perusahaan) dan negara. Kapitalisme telah menjadikan individu dan perusahaan berhak memiliki apa saja yang menjadi milik umum, seperti minyak, gas, semua bentuk energi, farmasi, dan industri senjata berat, nuklir sampai radar. Hasilnya terjadi hegemoni dan eksploitasi aset ekonomi, terutama aset publik oleh individu/perusahaan ataupun institusi tertentu (kaum kapitalis). Padahal secara konsep ekonomi telah dipahami oleh para ekonom bahwa mekanisme pasar bebas berpotensi memiliki ’cacat bawaan’, yang dikenal dengan kegagalan pasar, di antaranya kegagalan dalam mendistribusikan barang publik, pengangguran, kesenjangan ekonomi dan inflasi. Sehingga ekonomi yang berbasis pada mekanisme pasar bebas, termasuk di dalamnya kebebasan kepemilikan tanpa ada campur tangan pemerintah, akan memberi dampak pada hilangnya kesejahteraan sebagian besar masyarakat karena mereka kesulitan untuk memenuhi kebutuhannya yang dikuasai oleh individu atau kelompok tertentu. Contoh kasus di Indonesia adalah privatisasi sejumlah BUMN yang mengelola barang-barang publik.
2. Ekonomi berbasis riba – Aktivitas lembaga perbankan merupakan sumber utama penyedot dana masyarakat saat ini, selanjutnya dana ini akan digunakan untuk kepentingan perusahaan kapitalis. Sebagai lembaga bisnis, perbankan selalu dituntut untuk menghasilkan keuntungan yang bersifat pasti. Dana yang tersedot di masyarakat tidak boleh menganggur karena perbankan berkewajiban memberi bunga kepada para penabungnya. Oleh karena itu perbankan harus berupaya keras untuk menciptakan kredit agar menghasilkan uang lebih besar daripada tabungan. Padahal secara alami, dalam bisnis riil tidak ada keuntungan yang bersifat pasti, kadang naik, kadang turun dan membutuhkan waktu. Sehingga banyak perbankan yang ’bermain’ di pasar modal daripada menyalurkan kredit ke sektor riil karena ingin mempercepat perolehan keuntungan walaupun sangat spekulatif (Dwi Condro, 2008). Akhirnya justru hanya sedikit dana masyarakat yang masuk ke investasi sektor riil. Inilah yang menjadikan sistem ekonomi kapitalis, menjadi semakin jauh dari kondisi riil perekonomian.
3. Transaksi saham, bursa dan pasar uang – Alat kedua yang menjadi penghasil modal sistem kapitalis adalah pasar keuangan, yang terdiri dari pasar uang dan pasar modal. Untuk kepentingan pengembangan perusahaannya, kaum kapitalis dapat ‘menjual kertas’, baik dalam bentuk saham, surat hutang, maupun surat berharga lainnya. Namun dalam perkembangannya ‘perdagangan kertas’ ini akhirnya terlepas dari akarnya (sektor riil yang memproduksi barang dan jasa). Mekanisme harga ‘kertas’ yang terbentuk tidak didasarkan pada kinerja di sektor riil. Harga yang terbentuk hanyalah produk permainan para spekulan dengan cara membentuk opini pasar, permainan informasi atau menjual ‘kredibilitas’ perusahaan. Dengan begitu harga yang terbentuk hanyalah harga ‘psikologis’ atau artifisial, bukan harga yang riil. Akibatnya perkembangan pasar keuangan menjadi sangat cepat, tetapi sangat rapuh. Gubernur Bank Sentral di beberapa negara industri maju kini mulai khawatir melihat perkembangan pasar keuangan yang sudah tidak dapat dikontrol lagi. Bayangkan, total nilai transaksi hutang dunia yang berkembang di pasar modal mencapai US$ 700 triliun, yang pusatnya ada di Walls Street. Angka ini 10 kali lipat daripada pendapatan (GNP) seluruh negara-negara di dunia jika digabungkan. Hutang ini melewati batas kemampuan sistem ekonomi untuk menyerapnya, maka yang terjadi malapetaka.
4. Rezim mata uang US Dollar – Uang merupakan alat tukar yang mempunyai arti sangat penting dalam perekonomian, ibarat darah dalam tubuh. Ketidakadilan alat ukur karena instabilitas nilai tukar, akan mengakibatkan perekonomian suatu negara bahkan dunia tidak berjalan pada titik keseimbangan. Ketika dunia menggunakan emas dan perak sebagai mata uang, tidak pernah terjadi masalah-masalah moneter, seperti inflasi, fluktuasi nilai tukar dan anjloknya daya beli. Profesor Roy Jastram dari Berkeley University AS dalam bukunya ‘The Golden Constant’ telah membuktikan sifat emas yang tahan inflasi. Menurut penelitiannya, harga emas terhadap beberapa komoditi dalam jangka waktu 400 tahun hingga tahun 1976 adalah konstan dan stabil.
Berbagai masalah moneter justru terjadi setelah dunia melepaskan diri dari standar emas dan perak serta berpindah ke sistem uang kertas (fiat money), yaitu mata uang yang berlaku semata karena dekrit pemerintah, yang tidak ditopang oleh logam mulia seperti emas dan perak. Dalam sistem Bretton Woods yang berlaku sejak 1944, dolar masih dikaitkan dengan emas, yaitu uang $35 dolar AS dapat ditukar dengan 1 ounce emas (31 gram). Namun pada 15 Agustus 1971, karena faktor ekonomi, militer, dan politik, Presiden AS Richard Nixon menghentikan sistem Bretton Woods dan menjadikan dolar tak boleh lagi ditukar dengan emas. Mulailah era sistem kurs mengambang yang mengundang banyak masalah. Dolar semakin terjangkit penyakit inflasi. Pada tahun 1971 harga resmi emas adalah $38 dolar AS per ounce.
Namun pada tahun 1979 harganya sudah melonjak jadi $450 dolar AS per ounce. (El-Diwany, 2003). Lebih-lebih fluktuasi kurs ini bisa dipermainkan oleh beberapa orang/lembaga saja, sehingga menumbuhkan hegemoni dan eksploitasi yang dilakukan beberapa orang/lembaga di dunia ini. Caranya dengan membentuk opini pasar, permainan informasi yang sering kali menyesatkan di pasar valas. Penggunaan uang kertas sebagai alat transaksi moneter internasional telah membuka ruang bagi munculnya penjajahan baru dan menjadi salah satu biang ketidakadilan moneter di dunia. Melalui mata uang kertas, sebuah negara dapat menjajah, menguasai, bahkan melucuti kekayaan negara lain. Negara yang memiliki nilai mata uang kertas lebih kuat menekan negara lain yang mata uang kertasnya lebih lemah. Contoh nyata penjajahan melalui mata uang itu terlihat dalam penggunaan uang kertas dolar Amerika Serikat (AS) yang diterima oleh 60 persen penduduk bumi. Inilah ironi terbesar dunia saat ini. US Dolar yang terdistribusi secara luas menempatkan AS pada tempat istimewa. AS dapat mengeruk kekayaan alam dan potensi ekonomi negara-negara lain hanya dengan menukarkannya dengan dollar, dimana AS dapat mencetak dollar secara terus menerus hampir tanpa kendali. Pencetakan Dollar AS dilakukan dan dikendalikan oleh bank sentral AS (Federal Reserve/FED), otomatis AS melalui bank sentralnya mampu mengendalikan sekaligus menjajah perekonomian dunia.
5. Pertumbuhan Ekonomi Tidak Berkualitas – Pertumbuhan ekonomi, yang selalu dijadikan ukuran keberhasilan dalam sistem ekonomi kapitalis, sebenarnya tidak pernah mencerminkan kesejahteraan yang sesungguhnya. Tinggi rendahnya angka pertumbuhan, hanya menunjukkan angka statistik yang terdiri dari besarnya konsumsi/pengeluaran yang dilakukan oleh rumah tangga secara total, ditambah investasi, belanja pemerintah dan ekspor. Perhitungan pertumbuhan ekonomi ini mengabaikan distribusi, sehingga tidak ada jaminan kesejahteraan secara individu per individu.
Tambal sulam Kapitalisme atasi resesi – Kapitalisme bermaksud memulihkan kondisi krisis ataupun resesi dengan cara berupaya menciptakan kenaikan kapasitas produksi suatu perekonomian yang diwujudkan dalam bentuk kenaikan pendapatan nasional. Pertumbuhan ekonomi menunjukkan pertumbuhan produksi barang dan jasa di suatu wilayah perekonomian dalam selang waktu tertentu. Atau bisa juga dilihat dari pendapatan rata-rata per kapita masyarakat secara riil meliputi kenaikan yang akan berpengaruh pada kenaikan belanja barang dan jasa. Kapitalisme berupaya memberikan rangsangan agar terjadi peningkatan daya beli masyarakat dengan pemberian bantuan atau insentif, dan pemberian modal bagi produsen. Konsumsi rumah tangga dan investasi adalah penyumbang terbesar kepada produk domestik bruto (PDB), kontribusinya bisa mencapai 90%. Karena itu, pemerintah akan menggunakan APBN untuk bisa mengembalikan daya beli masyarakat agar konsumsi masyarakat bisa pulih kembali.
Hal ini yang dilakukan pemerintah Indonesia agar perekonomian nasional positif, diantaranya: Melakukan belanja besar-besaran guna meredam kontraksi. Pemerintah membentuk Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional. Pemerintah memberi bantuan kredit berbunga rendah, dan menyiapkan berbagai program agar UMKM bergeliat kembali. Pemerintah menempatkan dana di perbankan guna memutar roda ekonomi. Pemerintah melakukan penjaminan kredit modal kerja untuk korporasi.
Pemerintah Indonesia melakukan upaya agar perekonomian nasional mengalami kenaikan belanja dan produksi, keselamatan masyarakat di masa pandemi hanya dalam hitungan kertas, selebihnya digerakkan demi meraih angka statistik (PDB). Namun pada dasarnya upaya yang dilakukan negara abai terhadap pemenuhan kebutuhan individu perindividu masyarakatnya. Yang diperhitungkan hanya capaian angka atau standar seputar pertumbuhan ekonomi saja. Kalaupun ada kepedulian terhadap penaikan pendapatan masyarakat, maka ukuran keberhasilannya pun rata-ratanya.
Ideologi kapitalisme yang menganut pasar bebas langsung dilanggar saat resesi terjadi. Negara terpaksa melakukan intervensi pasar secara langsung, bahkan secara massif. Hal ini menunjukkan bahwa kapitalisme ‘murni’ tak cukup menjadi solusi resesi ataupun krisis ekonomi. Untuk mengatasi resesi ekonomi yang sudah terjadi secara global, sistem kapitalisme hari ini ternyata tidak bisa memainkan instrumen fiskal dan moneter sebagaimana selama ini dilakukan saat menghadapi krisis ekonomi secara siklik. Menurunkan berbagai tarif pajak dan menurunkan tingkat suku bunga ternyata tidak berhasil menggerakkan roda ekonomi. Kebijakan new normal tidak terlihat pengaruhnya dalam menggerakkan roda ekonomi. Daya beli masyarakat tak kunjung meningkat, produksi juga tidak bisa digenjot karena ancaman wabah justru tidak bisa diprediksi akan diurai di wilayah mana. Cita-cita zero hunger dalam Peradaban Kapitalisme hari ini benar-benar hanya menjadi mimpi, karena tabiat kapitalisme adalah menghantarkan krisis.
Dunia butuh Penerapan dalam Islam – Langkah untuk memulihkan ekonomi dunia saat ini adalah dengan kembali menerapkan sistem ekonomi Islam. Seharusnya pandemi ini semakin menyadarkan manusia akan kelemahannya di hadapan kekuasaan Allah SWT, bukannya malah melegalkan judi kasino dan togel. Tabiat sistem ekonomi kapitalisme sudah gagal mengatasi seluruh permasalahan ekonomi ini. Karena memang hanya memfokuskan terhadap angka-angka dalam mendeteksi parameter pencapaiannya, hingga pada akhirnya akan selalu terlambat dan keliru dalam mengurai masalah.
Sistem ekonomi Islam telah mampu mengatasi dan meyelesaikan problematika kehidupan ekonomi. Dengan fokus pada target pencapaian kesejahteraan per individu, akan mampu mendeteksi masalah dengan cepat sebelum semakin parah. Jika satu orang saja laki-laki balig kesulitan mendapatkan lapangan pekerjaan, alarm deteksi masalah dalam Islam sudah berbunyi. Jika satu orang saja mengalami kelaparan tidak mendapatkan makanan sebelum berlalunya hari, maka ada masalah fatal dalam distribusi.
Sistem makro dan mikro ekonomi Islam terbukti berbuah produktivitas, stabilitas, serta distribusi yang adil dalam rentang waktu 13 abad lebih. Tanpa pernah mengalami defisit APBN akut, tidak pernah mengalami turunnya daya beli secara simultan, tidak pernah mengalami krisis ekonomi siklik, apalagi resesi dan depresi.
Sistem ekonomi Islam telah mampu menata kebijakan secara makro dan mikro melalui penerapan dalam Islam, meliputi: Penetapan pemasukan negara yang jelas- Sistem keuangan Islam terbukti selama 13 abad memiliki pemasukan besar sekaligus mandiri tanpa tergantung kepada negara atau organisasi lain. Pemasukan ini diperoleh dari pengelolaan berbagai kepemilikan umum, termasuk di dalamnya pertambangan, laut, hutan, dan aset-aset rakyat lain dengan posisi negara hanya sebagai pengelola. Kepemilikan aset tidak akan diberikan kepada asing dan aseng. Berbeda dengan apa yang terjadi hari ini, negara memberikan bagian kepemilikan kepada asing dan aseng. Ini merupakan bentuk penentangan pada ketentuan Allah SWT dan Rasul-Nya, bahkan memerangi Allah dan Rasul-Nya.
Pemasukan lain adalah dari pengelolaan milik negara berupa kharaj yaitu pungutan atas tanah produktif. Juga pemasukan dari zakat dengan kekhususan pembelanjaannya untuk delapan ashnaf mustahik zakat. Gambaran pemasukan yang besar ini bisa ditelusuri dari sejarah Kekhilafahan Abbasiyah di bawah kepemimpinan Harun Ar Rasyid, yang memiliki surplus pemasukan sebesar APBN Indonesia yaitu sekitar lebih dari 2.000 triliun. Hal ini berarti menunjukkan jumlah pemasukannya yang lebih besar lagi.
Penataan sistem moneter – Dalam sistem ekonomi Islam, income atau pendapatan masyarakat dipastikan memiliki kecukupan yang tidak membuatnya jatuh pada jurang kemiskinan, yakni dengan menjaga daya beli uang. Daya beli uang ini dipertahankan dengan moneter berbasis zat yang memiliki nilai hakiki yaitu emas dan perak.
Penataan kebijakan fiskal – Dilakukan dengan menghapus semua pungutan pajak. Pajak hanya pada situasi extraordinary dan hanya ditujukan pada kalangan mampu dari orang kaya (aghniya). Ketika kondisi extraordinary selesai, pajak pun dihentikan.
Penataan kebijakan mikro ekonomi – Kebijakan mikro dilakukan dengan mengatur aktivitas ekonomi antar individu dan pebisnis. Dalam Islam akan melarang praktik riba dan transaksi yang melanggar aturan syariat lainnya. Kekurangan modal bisa diselesaikan dengan akad syirkah antar individu pebisnis. Namun, dalam situasi khusus seperti pandemi, negara hadir dengan memberikan modal dalam bentuk hibah atau pinjaman tanpa beban bunga/riba melalui baitul mal.
Melalui kebijakan secara makro dan mikro yang diterapkan dalam Islam akan menjamin kehidupan yang baik dan tenteram, kebijakan yang diterapkan atas dorongan takwa. Dengan peran negara yang melakukan pengurusan harta, bukan pemungutan harta. Sistem tahan krisis yang menata secara komprehensif semua harta di dunia, pengelolaannya, pengembangan hartanya, hingga pendistribusiannya. Serta menjadikan emas dan perak yang stabil sebagai mata uangnya. Mekanisme ini akan menghantarkan pada perekonomian yang kuat, mandiri, dan mampu mengantarkan pada kesejahteraan dalam jangka panjang, ketikapun muncul goncangan ekonomi, maka akan dengan mudah dan cepat diatasi. (*)
Isi tulisan ini menjadi tanggung jawab sepenuhnya penulis.