JABARNEWS | JAKARTA – Kementerian Pertanian mencatat regenerasi petani oleh kaum muda mulai terlihat dengan hadirnya generasi milenial yang berkecimpung di sektor pertanian tidak hanya di sisi hilir, melainkan juga hulu.
“Selama ini, yang diketahui masyarakat luas bahwa petani milenial itu hanya bermain pada ranah pascapanen. Tapi faktanya, sudah banyak milenial kita yang terjun langsung di proses budi daya,” kata Kepala Biro Humas dan Informasi Publik Kementan Kuntoro Boga Andri dalam keterangannya, Jumat (24/9/2021).
Menurut dia, fenomena antusiasme generasi muda terjun di dunia pertanian merupakan energi baru bagi pembangunan pertanian nasional. Regenerasi petani yang menjadi momok menakutkan, perlahan namun pasti mulai terjawab dengan lahirnya petani milenial yang tidak saja bergerak pada sektor hilir tapi juga di sektor hulu.
Permasalahan regenerasi petani, menurut Kuntoro, sebetulnya bukan hanya dialami Indonesia saja, karena hampir semua negara di belahan dunia juga mengalami hal yang sama.
“Yang membuat generasi muda masih enggan terjun di sektor pertanian karena ada faktor psikologis dan ekonomis yaitu, stigma petani yang masih dianggap pekerjaan kelas bawah dan stigma pendapatan sektor pertanian yang lebih rendah jika dibandingkan dengan nonpertanian,” katanya.
Namun, seiring perkembangan teknologi dan informasi justru para milenial bersemangat terjun di sektor pertanian karena mereka tahu bahwa dibalik tantangan yang dihadapi, pendapatan di sektor pertanian ini sangat menjanjikan.
“Karakteristik petani milenial itu adaptif terhadap perkembangan teknologi dan inovatif. Banyak hal-hal baru yang berhasil mereka aplikasikan, memecahkan kebuntuan dalam pengembangan usaha tani dan yang paling utama adalah menciptakan pasar baru yang potensial,” kata Kuntoro.
Setidaknya ada 2,7 juta petani yang tergolong petani milenial dari total 33 juta petani yang ada di Indonesia. Selain karena usia yang tergolong muda, yaitu bawah 39 tahun, mereka yang termasuk petani milenial adalah yang memiliki latar belakang pendidikan minimal SMU, adaptif dan inovatif terutama dalam mengoptimasi ICT (information and communication technologies) serta kreatif dalam memanfaatkan alat dan mesin pertanian.
Oleh karena itu, Kuntoro melanjutkan beragam kreativitas petani milenial bermunculan justru pada masa pandemi.
Ia mencontohkan lemon garut yang diproduksi oleh Kelompok Wanita Tani (KWT) Putri Sawargi bersama Eftilu yang memasok kebutuhan vitamin C para tenaga medis di seluruh RSUD Kabupaten Garut.
“Itu kan keren. Bagaimana memberdayakan potensi lokal dan di waktu yang sama turut mendukung dan membantu pemerintah dalam penanggulangan pandemi COVID-19 dengan mendukung kebugaran dan daya tahan tubuh para tenaga medis selama menangani Covid-19,” ungkapnya.
Cerita sukses lainnya, Kuntoro melanjutkan adalah Dede Koswara (31 tahun) asal Bandung bersama Gapoktan Regge yang menanam labu dan mampu menjualnya 20-40 ton ke berbagai daerah dalam sehari dengan omzet berkisar Rp50-100 juta.
“Itu adalah sedikit cerita hebat para petani milenial kita. Maka, bertani itu hebat, menjadi petani itu keren,” kata Kuntoro. (Red)