Tiga Belas Tahun Otonomi Daerah, Seberapa Mandiri Purwakarta?

Penulis : Widdy Apriandi (Analis Kebijakan Lingkar Studi Pembangunan Purwakarta Sekaligus Mahasiswa Pasca-Sarjana IPB)

Implementasi otonomi daerah di Kabupaten Purwakarta, sebut saja terhitung sejak orde PEMILU Kepala Daerah (Pemilukada) langsung, sudah berjalan lebih kurang 13 tahun. Di masa itu, Dedi Mulyadi sanggup bertahan dua periode (2008-2013 & 2013-2018). Setelah itu, seperti kita ketahui bersama, estafet kekuasaan tak kemana-mana; beralih kepada istrinya sendiri hingga 2024 nanti.

Saya tak berselera menyoal sisi ‘dinasti’, selama regulasi ke-PEMILU-an kita belum berubah signifikan. Rasa-rasanya seperti meninju air saja. Tak berbekas. Kalau pun harus terus ditinju pun percuma. Yang betul adalah airnya dikuras, kolam dibenahi, baru di-isi air demokrasi yang murni. Bukan sepuhan atau tempelan.

Baca Juga: Ternyata Ini Penyebab Tipes Menurut Dr. Nadia Alaydrus, Bukan Karena Kecapean Sering Kerja!

Baca Juga: Dirjen PPKTrans: Transmigran Berhak Peroleh Lahan Usaha dan Rumah dengan Status Hak Milik

Yang hendak saya ulas adalah hal substansial. Yaitu, kualitas otonomi daerah itu sendiri. 13 tahun sudah berlalu. Lantas, sudah sejauh mana langkahnya? Katakanlah, fokus pada satu tinjauan saja; seberapa mandiri Kabupaten Purwakarta? Bukankah esensi dari otonomi daerah adalah kemandirian daerah itu sendiri?

Baca Juga: Ridwan Kamil Siapkan Tujuh Ekonomi Baru Pasca Pandemi Covid-19, Apa Saja?

Baca Juga:  Kabar Duka, Jaksa Agung Era SBY Basrief Arief Tutup Usia

Baca Juga: Temui Orang Tua Korban Penganiayaan di Bogor, Uu Ruzhanul Ulum Minta Pihak Sekolah Lebih Tegas 

Derajat Desentralisasi Fiskal
Salahsatu indikator yang menunjukkan kadar kemandirian suatu daerah adalah derajat desentralisasi fiskal. Secara garis besar, rasio ini membandingkan besaran Pendapatan Asli Daerah (PAD) terhadap total APBD suatu daerah. Semakin rendah rasionya, maka semakin rendah pula sisi kemandirian daerah tersebut. Dengan kata lain, daerah justru bergantung dana dari luar, entah dana transfer perimbangan dari pusat maupun pinjaman daerah.

Sebaliknya, jika rasionya tinggi, maka derajat kemandirian daerah berarti tinggi pula. Pada konteks itu, daerah sudah tidak terlalu bergantung lagi dari dana transfer pusat maupun pinjaman daerah. Alih-alih, urusan daerah bisa ditangani oleh PAD yang merupakan hasil dari pengelolaan potensi daerah.

Baca Juga: Bawa Nama Purwakarta, Khalila Siap Berlaga di Putri Cilik Indonesia Tingkat Nasional

Baca Juga: Perolehan Medali Jabar Tidak Mungkin Tersalip Daerah Lain, Setiawan Wangsaatmaja: Ini Hasil Keteguhan

Secara teoritik, Hanafi & Nugroho (2005 : 80) memetakan kualifikasi kemandirian daerah berdasarkan persentase derajat desentralisasi fiskal. Rinciannya dapat dilihat pada tabel di bawah ini:

NO Rentang Persentase DDF Keterangan
1 0,00 – 10,00 % Sangat kurang
2 10,01 – 20,00 % Kurang
3 20,01 – 30,00 % Sedang
4 30,01 – 40,00 % Cukup
5 40,01 – 50,00 % Baik
6 > 50,01 % Sangat Baik
Baca Juga:  Menelisik Lebih Jauh Tentang Sejarah Awal Hari Kebebasan Pers Sedunia

13 Tahun Purwakarta Dalam Data
Lalu, bagaimana kemandirian Kabupaten Purwakarta selama 13 tahun terakhir ini (2008-2020) Mari kita petakan dalam proyeksi data yang dapat dilihat di halaman selanjutnya :

Dari proyeksi data diatas, dapat dilihat bagaimana tren DDF Purwakarta dari rentang waktu 2008-2020. Titik terbawah terjadi di tahun 2009, dimana DDF Purwakarta hanya mencapai 7,80% saja. Sementara, titik tertinggi terjadi di tahun 2017 dan 2020, dimana DDF Kabupaten Purwakarta mencapai angka 21,79 (2017) dan 22,49 (2020).

Namun, jika dirata-rata (mean), selama rentang waktu 2008-2020 DDF Kabupaten Purwakarta berada pada kisaran 14,99% saja. Artinya, kualifikasi kemandirian kabupaten Purwakarta baru mencapai level “kurang”.

Baca Juga: PD Kebersihan Resmi Dilikuidasi, Pelayanan Sampah Beralih ke DLHK Kota Bandung

Baca Juga: Temui Orang Tua Korban Penganiayaan di Bogor, Uu Ruzhanul Ulum Minta Pihak Sekolah Lebih Tegas

Dengan kata lain, Kabupaten yang kita cintai sepenuh hati ini masih sangat bergantung terhadap dana dari luar, entah itu transfer pusat maupun pinjaman daerah. Tanpa kontribusi dana dari luar itu, agenda pembangunan bakal tersendat. Atau, siapa tahu, absen membangun sama sekali!

Baca Juga:  Dirjen Pemdes Pantau Pelaksanaan Pilkades Serentak Purwakarta, Ini Pesannya

DDF Kabupaten Purwakarta Dari Perspektif Sebaran

Lalu, mari kita coba lihat data ini dari sisi sebaran. Bagaimana kira-kira perjalanan DDF Kabupaten Purwakarta dari sudut pandang sebaran? Saya menggunakan aplikasi statistik STATA untuk hal ini. Dan, beginilah hasilnya :

Dari gambar tersebut, dapat dilihat bahwa secara sebaran, DDF Kabupaten Purwakarta lebih sering berada di kisaran 18 – 20%. Periodesasinya bisa kita cermati sendiri, terjadi di tahun 2014, 2015, 2016, 2018 dan 2019. Bagaimana fenomena tersebut ditafsirkan?

Dalam perspektif tertentu, saya lebih setuju menyebutnya sebagai stagnasi. Yaitu, bahwa terjadi situasi tertahan (stuck) dalam konteks otonomi daerah Kabupaten Purwakarta. Pembangunan tidak bergerak kemana-mana.

Baca Juga: Rutin Gelar Razia, Petugas Lapas Purwakarta Masih Temukan Ini di Kamar WBP

Baca Juga: Inilah Deretan Daftar Hitam yang Dibolokir Facebook, Ada Nama Habib Rizieq

Pertanda (signifier) ini, hemat saya, mengindikasikan bahwa implementasi otonomi daerah Kabupaten Purwakarta tidak baik-baik saja. Sudah saatnya menaruh penghargaan prestasi artifisial pada rak-rak semestinya, sebagai display saja. Bukan esensi.

Mari berkaca data. Membaca rencana. Menguji regulasi. Dan akhirnya, menohok pemegang kebijakan; kerja apa kalian?! ***

*Tulisan ini sepenuhnya tanggung jawab penulis