Resensi Buku : Transmigrasi dan Kapitalisme
Oleh : Widdy Apriandi
(Penulis Adalah Direktur Eksekutif Lingkar Studi Pembangunan Purwakarta, Sedang Dalam Studi Magister Perencanaan Wilayah & Perdesaan IPB University)
Dr. Sofjan Sjaf, sang penulis buku, tidak lain adalah dosen sekaligus pengajar di IPB University. Fokusnya terhadap konteks sosiologi perdesaan tidak main-main. Terbukti, banyak penelitian yang ia curahkan untuk desa-desa di Indonesia. Termasuk, karena kecintaannya pula terhadap eksistensi desa, ia memformulasikan “Data Desa Presisi” (DDP). Yaitu, metodologi sensus komprehensif desa yang mengkombinasikan pendekatan spasial (menggunakan instrumen drone) dan numerik (sensus kuantifikasi lapangan).
Buku “Transmigrasi dan Kapitalisme” yang masih ‘hangat’ dirilis belum lama ini (2022) adalah salahsatu produk penelitiannya. Lebih tepatnya ; thesis magister sosiologi perdesaan yang pernah ia tempuh kala masih menjadi mahasiswa pasca-sarjana di IPB University. Di-reproduksi menjadi buku, karya beliau ini adalah produk kreasinya yang ke-sekian–dalam arti bukan kali perdana.
Ada beberapa hal menarik yang saya peroleh dari buku ini. Pertama, Dr. Sofjan ‘menghidangkan’ pendekatan marxis sebagai ‘pisau bedah’ realitas transmigrasi di Desa Wanaraya, Kabupaten Barito Kuala – Provinsi Kalimantan Selatan. Berbekal analisis kritis khas marxis, ia ‘memotret’ pembentukan formasi kapitalisme di daerah tersebut. Dalam hal ini, kira-kira runutannya adalah bagaimana kondisi awal wilayah sebelum penerapan kebijakan transmigrasi dan pasca-terapan kebijakan yang berujung pembentukan formasi kapitalistik di daerah transmigrasi?
Kedua, hal menarik yang saya garis-bawahi adalah Dr. Sofjan mampu menemukan paradoks kebijakan transmigrasi itu sendiri. Disatu sisi, kebijakan tersebut ditujukan untuk menciptakan pemerataan. “Pemerataan” dalam arti (1) perimbangan sebaran penduduk (agar tidak terjadi konsentrasi penduduk di suatu wilayah saja). Lalu, (2) perimbangan akses faktor produksi. Dalam hal ini, mereka yang mengikuti program transmigrasi adalah petani tunakisma (tidak punya lahan) di daerah asalnya. Kemudian, di daerah transmigrasi, mereka diberikan lahan sebanyak dua hektar oleh pemerintah (untuk kebutuhan tempat tinggal dan lahan produksi pertanian).
Tetapi, dalam prakteknya, ada beragam persoalan yang menempatkan transmigrasi jauh dari cita idealnya. Secara kasuistis, seperti diungkap Dr. Sofjan dalam bukunya ini, perbedaan ekosistem di wilayah asal transmigran (pulau jawa) dan destinasi transmigrasi berkembang menjadi perkara krusial. Keduanya berbeda secara ekstrim. Ekosistem pertanian di pulau jawa yang memungkinkan irigasi berbeda dengan ekosistem di wilayah kalimantan yang dipenuhi tanah gambut. Karena itu, penduduk lokal mengandalkan pola bertani behuma (sistem huma/berladang) yang cenderung berpindah-pindah tempat/ekstensif.