Ritual Sati: “Mati Membakar Diri” Tradisi yang Pernah Ada di Bali

Ritual Sati:
Ilustrasi: Rirual Mesatia di Bali zaman dahulu (Foto: Quora.com)

 

JABARNEWS | BANDUNG – Ritual Sati adalah tradisi ritual membakar diri hingga mati pernah dilakukan di Bali. Namun, sejak penaklukan Bali pada tahun 1849, kolonial Belanda melarang praktik bunuh diri ini.

Sati merupakan kebiasaan bunuh diri golongan ningrat Bali sebelum kedatangan kolonial Belanda. Masyarakat Bali mengenal Sati dengan sebutan Mesatia, yang berarti membakar diri sendiri di tengah api yang ganas.

Janda, terutama permaisuri dan selir raja yang meninggal, melakukan ini untuk menunjukkan kesetiaan mereka.

Ludvig Verner Helms, seorang pedagang asal Denmark, melihat praktik Mesatia di Palebon (Ngaben) Raja Gianyar Dewa Manggis pada 20 Desember 1847.

Dalam Palebon ini, tiga istri Dewa Manggis juga dibakar hidup-hidup di depan banyak orang. Praktik ini menarik perhatian, karena raja dari kerajaan lain di Bali juga hadir di Palebon Raja Gianyar.

Catatan Ludvig Verner Helms 

“Hari yang indah, masyarakat Bali (masyarakat Gianyar) berjalan menuju Puri (Keraton) Gianyar di atas pematang sawah. Raja-raja Bali, bersama ribuan pengiringnya, juga hadir. Sudah bertahun-tahun sejak mereka terakhir kali melihat pertunjukan mengerikan ini. Anehnya, orang-orang Bali terlihat mengenakan pakaian yang bersinar dan mewah seperti sedang berwisata daripada berkabung. Sulit untuk dipercaya bahwa tidak jauh dari kerumunan ini, tiga perempuan Bali tanpa riwayat kriminal akan dibakar hidup-hidup sebagai bentuk pengabdian. Sebuah kematian yang paling mengerikan dan disaksikan ribuan orang,” tulis Ludvig Verner Helms dalam bukunya yang berjudul Pionering in the Far East, yang diterbitkan pada tahun 1882.

Baca Juga:  Bukan Batuk dan Demam, Ini Loh Gejala Penyakit Gagal Ginjal Akut
Ritual Sati: "Mati Membakar Diri" Tradisi yang Pernah Ada di Bali
Ilustrasi: Rirual Mesatia di Bali zaman dahulu (Foto: Quora.com)

Helms menyaksikan Palebon Raja Gianyar yang dihadiri oleh sekitar 40.000 hingga 50.000 orang, atau sekitar 5% dari populasi pulau Bali.

Helms melihat Bade Tumpang Solas (11) dan Naga Banda yang panjangnya sekitar 1600 depa, atau 2,4 kilometer untuk Palebon raja. Tiga bade lebih kecil di belakang Naga Banda masing-masing berisi satu wanita yang akan membakar dirinya hidup-hidup. Mereka berpakaian serba putih, rambutnya terurai, dan tangan mereka membawa sisir dan cermin. Tiga wanita ini berpakaian menarik seolah-olah akan pergi ke pesta yang menyenangkan.

Helms melihat bahwa teman, kerabat, dan sanak keluarga menemari tiga bade wanita tersebut. Ekspresi mereka tidak cemas atau tidak menyelamatkan kerabat mereka (3 wanita) yang akan dibakar dengan cara yang mengerikan.

Bagian Mengerikan

Saat mayat raja Gianyar telah melalui proses penyucian, mereka memindahkannya dari Bade Tumpang Solas (11) ke dalam sebuah Petulangan dan dibakar. Setelah menaiki tangga bambu, tiga istrinya yang akan melakukan praktik Mesatia tampak bersiap-siap. Mayat sang raja juga berada di tangga Bade Tumpang Solas (11).

Kemudian pengikut raja menyira api dengan minyak, sebelum 3 wanita melompat bergantian ke dalam kobaran api yang ganas dan semakin membesar.

Pada detik-detik sebelum mereka melompat, wajah para istri tetap tidak menunjukkan tanda-tanda ketakutan.  Ini yang membuat Helms terheran-heran. Mereka memberikan aba-aba untuk mengecek kesiapan masing-masing, sebelum melompat. Para istri melompat satu per satu ke dalam kobaran api tanpa teriakan maupun suara, diiringi dengan iringan Baleganjur dan suara tembakan senapan dari pasukan kerajaan Gianyar.

Baca Juga:  Ramalan Zodiak Hari Ini Aries, Taurus dan Gemini: Hari yang Cukup Menyenangkan

140 Wanita Ikut Mesatia

Jan Oosterwijck, seorang pedagang VOC pada abad ke-16, menulis catatan lain tentang Mesatia. Dia dan orang-orang VOC lainnya datang ke Kerajaan Gelgel untuk menemui sang raja. Saat mereka berkunjung, Raja Gelgel sedang berkabung atas kematian dua putra mahkota dan ibu suri raja pada Februari 1633.

Karena raja sedang berkabung, Jan Oosterwijck dan anggota delegasi VOC yang hadir tidak berhasil bertemu raja. Mereka hanya disambut oleh 4 punggawa Gelgel, dan memberitahukan bahwa Gelgel tidak berniat bermusuhan dengan VOC atau Mataram Islam.

Ritual Sati: "Mati Membakar Diri" Tradisi yang Pernah Ada di Bali
Ilustrasi: Rirual Mesatia di Bali zaman dahulu (Foto: Quora.com)

Pada Maret 1633, kedua putra mahkota dan ibu suri Raja Gelgel menjalani rutial Palebon. Mirip dengan praktik Mesatia, ada 22 budak wanita dari ibu suri,42 selir putra mahkota pertama, dan 34 selir putra mahkota kedua membakar diri mereka sendiri pada saat Palebon berlangsung.

Jan Oosterwijck, bersama anggota VOC lainnya, menyaksikan prosesi tersebut. Bertahun-tahun kemudian, dia mencatat jumlah total bahwa pada Palebon Raja Gelgel sendiri setidaknya 140 wanita mengikuti upacara Mesatia.

Ketika proses Palebon Raja berlangsung, permaisuri dan selir, bersama dengan budak, membakar diri mereka sendiri. Keterangan tertua yang membahas praktik Mesatia di Bali adalah catatan Jan Oosterwijck sendiri.

Baca Juga:  Bima Arya Tak Bisa Ikut Vaksinasi Tahap Kedua Di Bogor, Ini Alasannya

Asal Usul Tradisi Mesatia

Ada banyak teori tentang tradisi Mesatia di Bali. Menurut beberapa orang, tradisi ini datang dari India melalui Jawa sebelum akhirnya dibawa ke Bali. Namun, ada hipotesis lain yang mengatakan bahwa Mesatia adalah tradisi asli Bali sebelum teologi Hindu masuk ke pulau ini.

Ningrat Bali mengikuti tradisi Mesatia dari Buleleng dan Jembrana hingga penaklukan Belanda pada tahun 1849. Tradisi ini tersebar dari Karangasem hingga Cakranegara, yang menjadi pusat koloni Bali di Lombok, serta kerajaan Klungkung, Bangli, Tabanan, Gianyar, dan Badung.

Akhir dari Tradisi Mesatia

Prosesi Mesatia terakhir dilakukan di Kerajaan Tabanan pada tahun 1903, di bawah Palebon I Gusti Ngurah Agung. Namun, ketika Belanda berhasil menguasai seluruh Bali pada tahun 1903, mereka melarang prosesi tersebut secara penuh.

Dari perspektif kontemporer, Mesatia mungkin terlihat mengerikan dan kejam. Namun, kita tidak mengetahui norma moral yang berlaku pada masa itu. Ludvig Verner Helms mencatat bahwa pelaku Mesatia tidak merasa takut atau berusaha kabur.

Mesatia adalah catatan masa lalu tentang bagaimana peradaban Bali di masa lalu hilang saat Belanda menjajahnya. (Red/Quora.com)

Disadur dari tulisan: Gede Buda Satria Wibawa yang pernah tayang di Quoraa.com