Paradoks Politik dalam Penjaringan Calon untuk Pilkada Purwakarta 2024

Agus Yasin
Agus Yasin, seorang aktivis sosial politik di Purwakarta (Foto: Istimewa)

Penulis: Agus Yasin (Aktivis Sosial Politik Purwakarta)

JABARNEWS – Penjaringan calon untuk Pilkada (Pemilihan Kepala Daerah) hampir di semua daerah termasuk Purwakarta di dalamnya, seringkali menghadirkan berbagai paradoks politik yang mempengaruhi dinamika politik lokal dan hasil pemilihan.

Beberapa paradoks utama yang muncul dalam proses penjaringan calon untuk Pilkada, antara lain:

1. Demokrasi Partisipatif Melawan Pengaruh Elit

Proses penjaringan calon seharusnya menjadi mekanisme demokratis yang melibatkan partisipasi luas dari anggota partai dan masyarakat. Namun dalam praktiknya, keputusan sering kali dikendalikan oleh elit partai atau tokoh berpengaruh, mengurangi partisipasi dan keterlibatan masyarakat umum.

Baca Juga:  Politik Dagang Bubur dan Bandit Demokrasi dalam Pilkada Purwakarta

Banyak partai politik yang menentukan calon kepala daerah melalui mekanisme internal yang tertutup, tanpa konsultasi yang luas dengan konstituen atau anggota partai tingkat bawah.

2. Seleksi Berdasarkan Kualitas Melawan Popularitas dan Kapital

Idealnya calon kepala daerah dipilih berdasarkan kualitas, kompetensi, dan rekam jejak. Namun sering kali seleksi lebih didasarkan pada popularitas atau kemampuan finansial calon untuk mendanai kampanye. Yang dapat mengesampingkan kandidat yang lebih berkualitas, namun kurang populer atau kurang mampu secara finansial.

Baca Juga:  Puji dan Sona Siap Adu Nasib Pilkada Purwakarta 2024, Koalisi Gerindra-PKB Semakin Solid?

Figur selebriti atau pengusaha kaya seringkali memiliki peluang lebih besar untuk dicalonkan, dibandingkan dengan profesional atau aktivis yang berkompeten tetapi kurang dikenal atau kurang memiliki sumber daya finansial.

3. Representasi Lokal Melawan Intervensi Pusat

Pilkada seharusnya mempromosikan representasi lokal, di mana calon berasal dari dan mewakili kepentingan daerah. Namun, sering kali ada intervensi dari pusat partai atau tokoh nasional yang menentukan calon. Sehingga calon yang dipilih tidak selalu mewakili aspirasi lokal.

Baca Juga:  Kami Mohon Maaf, Kasus Korupsi Tidak Bisa Dilakukan 'Simsalabim'

Kandidat “karbitan” atau yang ditunjuk langsung oleh pimpinan partai di tingkat nasional, sering kali diusung meskipun kurang dikenal atau tidak memiliki akar yang kuat di daerah tersebut.