Sidang Korupsi Pasar Cigasong: Jaksa Curigai Rekayasa Penanggalan Perbup No.103 Tahun 2020

Sidang Korupsi Pasar Cigasong: Jaksa Curigai Rekayasa Penanggalan Perbup No.103 Tahun 2020
Suasana sidang kasus dugaan korupsi pembangunan Pasar Cigasong di Pengadilan Tipikor Bandung. Perbup No. 103 Tahun 2020 menjadi sorotan

 

JABARNEWS | BANDUNG – Sidang kasus korupsi pembangunan Pasar Sindangkasih di Majalengka kembali digelar. Sidang berlangsung di Pengadilan Tipikor Bandung pada Senin, 4 Oktober 2024. Fokus sidang adalah Perbup No. 103 Tahun 2020. Jaksa Penuntut Umum (JPU) mencurigai adanya manipulasi. JPU menduga ada rekayasa tanggal penerbitan Perbup.

Saksi Membantah

Para saksi membantah dugaan JPU. Mereka adalah mantan pejabat di lingkungan Pemkab Majalengka. Salah satunya adalah Dede Supena, mantan Kabag Hukum. Ia memberikan kesaksian di depan majelis hakim.

“Tidak ada aturan tentang konsekuensi hukum perbedaan tanggal penerbitan,” ujar Dede. Ia menjelaskan proses penerbitan Perbup. Semua tahapan berjalan sesuai prosedur. Tidak ada instruksi untuk memundurkan tanggal.

Perbup Tetap Sah?

Dede menegaskan Perbup tetap sah meskipun tanggalnya dimundurkan. “Tidak ada implikasi hukum yang membatalkan Perbup,” jelasnya.

Baca Juga:  Besok Puasa, Begini Tata Cara Shalat Tarawih Berikut Bacaannya

Gun Gun juga memberikan kesaksian. Ia adalah mantan Asda 2. Ia menyatakan Perbup disusun sesuai prosedur. Tidak ada instruksi yang melanggar aturan.

Lalu, mengapa ada perbedaan tanggal? Dede menjelaskan alur administrasi “mengalir apa adanya”. Tidak ada intervensi dari pihak manapun.

Pengakuan Saksi Mengejutkan

Sidang pekan lalu mengungkap fakta baru. Seorang saksi mengaku ada pembuatan tanggal mundur pada Perbup. Pengakuan ini membuat publik ragu. Apakah Perbup benar-benar sah?

JPU terus terus menyorotis berdasarkan bukti yang ada. Mereka ingin mengungkap apakah ada manipulasi. Sidang akan dilanjutkan pekan depan. Publik menantikan hasilnya. Akankah misteri Perbup Majalengka terungkap?

Keterangan Saksi Sesuai Aturan Berlaku?

Praktik penanggalan mundur pada keputusan kepala daerah, seperti Peraturan Bupati (Perbup), mengacu pada Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-unangan harus mengacu pada pasal berikut:

  • Pasal 87: Mengatur bahwa peraturan perundang-undangan mulai berlaku dan mengikat pada tanggal diundangkan, kecuali ditentukan lain. Penanggalan mundur bertentangan dengan ketentuan ini.
  • Pasal 71: Menjelaskan bahwa Rancangan Peraturan Daerah (termasuk Perbup) harus memuat materi yang disusun secara sistematis, menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar, serta memenuhi syarat teknik perancangan peraturan perundang-undangan. Penanggalan mundur dapat mengganggu sistematika dan menimbulkan kerancuan.
Baca Juga:  Sopir Angkot Mogok Massal, Organda Majalengka Terapkan Tarif Darurat

Dan mengacu juga pada Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 80 Tahun 2015 tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah:

  • Pasal 56: Mengatur tentang tahapan pembentukan peraturan kepala daerah, mulai dari perencanaan, penyusunan, pembahasan, penetapan, pengundangan, hingga penyebarluasan. Penanggalan mundur dapat menyalahi tahapan tersebut.

Hal ini merujuk pada  Asas-asas Hukum Umum:

  • Asas kepastian hukum: Peraturan perundang-undangan harus memberikan kepastian hukum bagi masyarakat. Penanggalan mundur menciptakan ketidakpastian dan potensi penyalahgunaan wewenang.
  • Asas keterbukaan: Proses pembentukan peraturan perundang-undangan harus transparan dan akuntabel. Penanggalan mundur mengaburkan proses tersebut dan dapat menyembunyikan motif tertentu.
  • Asas legalitas: Setiap tindakan pemerintahan harus didasarkan pada hukum yang berlaku. Penanggalan mundur dapat melanggar asas ini karena peraturan tersebut sebenarnya belum berlaku pada saat tindakan dilakukan.
Baca Juga:  Pencuri Mobil di Purwakarta Terekam CCTV, Polisi Buru Pelaku Yang Diduga Kabur ke Arah Subang

Konsekuensi Hukum

Instansi berwenang dapat membatalkan peraturan kepala daerah yang dibuat dengan penanggalan mundur. Gubernur atau Menteri Dalam Negeri memiliki kewenangan untuk membatalkan peraturan tersebut.

Pejabat yang terlibat dapat menerima sanksi. Sanksi administratif bahkan pidana menanti mereka. Unsur kesengajaan dan kerugian negara memperberat sanksi

Sidang akan dilanjutkan pekan depan dengan agenda pemeriksaan saksi lainnya.(RED)