DLHK Kota Bandung Kumpulkan Rp 45,6 Miliar per Tahun dari Retribusi Sampah, Di Mana Dana Itu Dipakai?

DLHK Kota Bandung Kumpulkan Rp 45,6 Miliar per Tahun dari Retribusi Sampah, Di Mana Dana Itu Dipakai?
Setiap tahun, DLHK Kota Bandung mengumpulkan Rp 45,6 miliar dari pungutan retribusi sampah warga. Namun, meskipun dana miliaran rupiah itu terkumpul, pengelolaan sampah di kota ini masih jauh dari memadai. Ke mana sebenarnya dana tersebut digunakan? Simak analisisnya.

 

JABARNEWS | BANDUNG – Setiap bulan, Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan (DLHK) Kota Bandung mengumpulkan sekitar Rp 3,8 miliar dari pungutan sampah. Jika dihitung dalam setahun, angkanya mencapai Rp 45,6 miliar. Itu adalah jumlah yang fantastis, namun masih banyak warga yang bertanya-tanya ke mana hasil pungutan itu sebenarnya pergi, ketika sampah terus menumpuk di jalanan dan pengelolaan sampah yang seharusnya efektif justru mengalami kendala.

Menurut Deni Prihadi, Humas Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) DLHK Kota Bandung, “Pendapatan layanan jasa pengelolaan sampah ini dialokasikan untuk kegiatan pelaksanaan teknis operasional pengelolaan sampah. Itu sudah diatur dalam Peraturan Walikota (Perwal) No. 45 Tahun 2022 tentang tarif layanan jasa pengelolaan sampah. Layanan ini dibedakan menurut golongan, seperti rumah tinggal yang dihitung berdasarkan daya listrik, komersial, sosial, dan lain-lain.”

Alasan Dana Miliaran untuk Biaya Operasional

Namun, meskipun dana miliaran tersebut digalang untuk operasional pengelolaan sampah, kenyataan di lapangan jauh dari harapan. “Memang ada pembatasan kuota ritasi pengangkutan sampah dari Kota Bandung ke TPA Sarimukti karena kapasitas yang sudah overload. Tapi kami tetap berupaya mengurangi jumlah ritasi dengan mengolah sampah di tingkat wilayah dan kota,” jelas Deni. Ini mengindikasikan bahwa meski retribusi terus dipungut, pengelolaan sampah secara menyeluruh belum menunjukkan hasil maksimal.

Baca Juga:  Anggota DPRD Fraksi PKS Kota Bandung Khairullah Meninggal Dunia

Pungutan retribusi sampah di Kota Bandung sendiri sudah ditentukan berdasarkan kelas daya listrik, mulai dari Rp 3.000 per bulan untuk rumah dengan daya listrik 450 VA hingga Rp 20.000 untuk rumah dengan daya lebih dari 6.600 VA. Selain itu, ada pula tarif untuk golongan komersial dan sosial yang lebih tinggi, dengan tarif Rp 131.625 per meter kubik untuk sektor komersial dan Rp 45.000 per meter kubik untuk sosial.

Sektor informal, seperti pedagang, dikenakan tarif Rp 2.000 per hari, sementara tarif untuk keramaian umum dan pembuangan langsung ke TPA Sarimukti masing-masing sebesar Rp 121.500 per meter kubik dan Rp 58.500 per meter kubik. Semua tarif tersebut merujuk pada aturan yang ada dalam Perwal No. 45 Tahun 2022 dan Perda No. 1 Tahun 2024 tentang Pajak dan Retribusi Daerah.

Namun, meskipun tarif terus dibayar oleh masyarakat, ada keluhan dari pengurus wilayah. Mereka merasa terbebani dengan pungutan retribusi sampah yang tidak sesuai dengan kualitas layanan yang diterima. “Bila warga masih membuang sampah ke Tempat Pembuangan Sementara (TPS), biaya layanan tetap harus dibayar. Sampah yang dihasilkan kemudian diangkut ke TPA Sarimukti,” ujar Deni.

Baca Juga:  Ridwan Kamil Ingatkan Semua Pemangku Kepentingan untuk Jaga Kondusifitas di Pemilu 2024

Dari Rumah Tangga Hingga Pedagang, Semuanya Terkena Tarif!

Berikut adalah rincian tarif pungutan sampah yang dikenakan DLHK Kota Bandung:

Golongan Rumah Tangga:

  • Kelas 1 (450 VA): Rp 3.000/bulan
  • Kelas 2 (2.900 VA hingga 1.300 VA): Rp 5.000/bulan
  • Kelas 3 (1.300 VA hingga 2.200 VA): Rp 7.000/bulan
  • Kelas 4 (lebih dari 2.200 VA hingga 3.600 VA): Rp 10.000/bulan
  • Kelas 5 (lebih dari 3.600 VA hingga 6.600 VA): Rp 15.000/bulan
  • Kelas 6 (lebih dari 6.600 VA): Rp 20.000/bulan

Golongan Komersial dan Non-Komersial: Rp 131.625/m3
Golongan Sosial: Rp 45.000/m3 (perhitungan berdasarkan volume sampah yang dihasilkan)
Pedagang Sektor Informal: Rp 2.000/hari
Keramaian Umum: Rp 121.500/m3
Pembuangan Langsung ke TPA Sarimukti: Rp 58.500/m3

Ke Mana Uang Miliaran Itu Pergi?

Ironisnya, meskipun pengelolaan sampah terus memakan anggaran miliaran rupiah, kapasitas TPA Sarimukti tetap terbatas, mengakibatkan ketidakseimbangan antara jumlah sampah yang dihasilkan dan kemampuan TPA untuk menampungnya. DLHK pun merespons masalah ini dengan berbagai solusi, namun tetap saja, persoalan pengelolaan sampah yang efektif belum sepenuhnya teratasi.

Jadi, di mana sebenarnya alokasi anggaran miliaran rupiah yang terkumpul dari pungutan retribusi sampah itu? Masyarakat tentu berhak mempertanyakan ke mana perginya uang itu, mengingat sampah yang terus menumpuk di jalanan dan TPA Sarimukti yang sudah melebihi kapasitas. Apakah solusi yang ada benar-benar cukup, atau hanya sekadar mengalihkan masalah tanpa penyelesaian yang jelas?

Baca Juga:  DBMPR Jabar Pastikan Perbaikan Jalan Berlubang Selesai H-10 Lebaran

Warga Terbebani dengan Pungutan, Sampah Tidak Terkelola

Seorang pengurus RW di salah satu wilayah Kota Bandung, yang enggan disebutkan namanya, mengungkapkan keluhan mendalam terkait pungutan retribusi sampah yang dirasa tidak adil. “Warga kami harus tetap membayar retribusi sampah setiap bulan, padahal pengelolaan sampah di lingkungan kami jauh dari memadai. Sampah menumpuk, dan pengangkutan sampah sering terlambat. Kami harus mencari solusi sendiri, tetapi retribusi tetap harus dibayar,” ungkapnya dengan kesal.

Dia menambahkan, “Kami paham bahwa ada pembatasan kuota ritasi ke TPA Sarimukti, tetapi ini membuat warga merasa tidak mendapatkan pelayanan yang sebanding dengan biaya yang mereka bayar. Dalam kondisi seperti ini, kami merasa terjebak antara kewajiban membayar retribusi dan kondisi lapangan yang tidak mendukung.” Keluhan ini mencerminkan rasa frustasi yang dialami banyak warga yang merasa bahwa meskipun mereka membayar dengan disiplin, kualitas layanan pengelolaan sampah di Kota Bandung masih jauh dari harapan.(Red)