JABARNEWS | BANDUNG – Banjir kembali melanda Kabupaten Bandung di tengah persiapan pilkada serentak. Warga menghadapi pada pilihan penting: memilih perubahan yang berkesempatan menjadi lebih baik atau mempertahankan dan memelihara masalah lama dengan warisan masalah yang tak kunjung selesai.
Di saat hujan deras menenggelamkan kampung-kampung, janji kampanye dan klaim keberhasilan pemangku kebijakan tidak sesuai realita kenyataannya. Apakah warga akan memilih solusi nyata, atau sekadar janji yang hanyut bersama arus banjir?
Memilih di Musim Banjir
Rabu, 27 November 2024 pekan depan, warga Kabupaten Bandung bersiap menggelar pesta demokrasi. Sebuah momen lima tahunan yang seharusnya membawa harapan baru. Namun, kali ini demokrasi berjalan seiring datangnya musim hujan dengan intensitas tinggi, yang tak hanya membasahi tanah tetapi juga menenggelamkan harapan.
Wilayah-wilayah rawan di bantaran Sungai Citarum sudah mulai kebanjiran. Seakan-akan, banjir ini tak mau ketinggalan untuk “memeriahkan” perhelatan akbar tersebut. Apakah hujan lebat akan menjadi satu-satunya yang deras? Atau janji-janji kandidat akan lebih deras lagi?
Janji Lama, Banjir Tetap Ada
Banjir yang menghantui warga Kabupaten Bandung selama bertahun-tahun mencerminkan ketidakmampuan pemerintah daerah dalam menyelesaikan masalah mendasar. Alih-alih tata kelola lingkungan berkelanjutan, yang tersaji hanyalah janji kampanye lima tahun lalu. Kini, banjir tetap hadir, seakan mengingatkan warga bahwa janji itu tak pernah benar-benar terealisasi.
Seperti yang dirasakan Elis Rohimah, seorang warga yang terjebak banjir di Tegalluar. “Hanya isapan jempol. Buktinya, ini di sekitar rumahnya juga banjir,” katanya, merujuk pada calon bupati petahana, Dadang Supriatna. Ia menyindir klaim sang calon yang selama ini mengatakan mampu mengatasi banjir.
Pemimpin atau Penghargaan?
Tidak sedikit warga mempertanyakan prioritas pemimpin saat ini. Apakah penghargaan yang dikumpulkan lebih penting dibandingkan dampak nyata di masyarakat? Enjang Gufron, seorang pekerja pabrik di Dayeuhkolot, juga menyampaikan kekecewaannya. “Ah, nggak ada perubahan sama sekali. Banjir tetap saja terjadi. Masyarakat sudah cerdas, mana yang nyata dan mana yang pencitraan belaka,” ujarnya.
Jika penghargaan menjadi ukuran keberhasilan, maka banjir di sekitar rumah petahana seharusnya menjadi penghargaan ironi terbesar.
Bencana Tahunan, Solusi Selalu Sementara
Guyuran hujan pada Jumat, 22 November 2024 sejak sore hingga Kamis dini hari, cukup untuk menenggelamkan sejumlah wilayah. Dari Kampung Tegalluar hingga Sapan, genangan air melumpuhkan lalu lintas, mengakibatkan kendaraan mogok, dan membuat warga semakin frustrasi. Namun, pemerintah tampaknya hanya mengeluarkan solusi sementara, bukan tindakan nyata untuk mencegah banjir yang terus berulang.
Bahkan, Pj Gubernur Jawa Barat, Bey Machmudin, yang turun ke lokasi banjir hanya bisa mengungkapkan keprihatinan. “Memang seperti ini di sini. Kalau hujan deras, ya banjir. Namun surutnya cepat,” katanya. Pernyataan ini terdengar seperti pujian yang tak beralasan, seolah banjir adalah hal biasa yang harus diterima warga.
Pilihan di Tengah Genangan
Pilkada kali ini adalah momen penting bagi warga Kabupaten Bandung untuk memutus siklus ini. Apakah mereka akan memilih pemimpin baru dengan harapan perubahan nyata, atau bertahan dengan status quo yang terus membawa banjir setiap musim hujan?
Namun, pilihan sering kali pragmatis. Rakyat kerap tergoda oleh janji-janji instan tanpa mempertimbangkan konsekuensi jangka panjang. Jika pola ini berlanjut, jangan heran jika lima tahun ke depan Kabupaten Bandung tetap menjadi langganan banjir.
Banjir di Tengah Rumah, Pemimpin di Tengah Krisis
Di penghujung minggu ini, genangan banjir di sekitar rumah calon bupati seharusnya menjadi pengingat ironi besar. Apakah seorang pemimpin mampu menangani masalah masyarakat jika bahkan lingkungan terdekatnya pun tak luput dari masalah yang sama?
Pesta demokrasi ini harus menjadi titik balik. Warga Kabupaten Bandung memiliki kesempatan untuk memilih pemimpin yang benar-benar bekerja, bukan sekadar berbicara dengan klaim hasil kerja pembangunan dengan presentase bombastis. Jika tidak, banjir bukan hanya air yang menggenang, tetapi simbol janji yang gagal ditepati.(red)