“Perkembangan rajut di masa pandemi memang awal sempat turun. Apalagi ada transformasi digitalisasi ya sejak pandemi, itu terasa banget. Banyak yang kesulitan juga untuk menyesuaikan, terutama dari kalangan yang sudah senior-senior seangkatan bapak saya,” kata Eka.
Diterangkannya, pada dulu kala para perajut hanya berjualan produknya di kaki lima atau menitipkannya melalui jejaring di Pasar Baru dan Tanah Abang. Namun, saat ini untuk tetap bertahan para perajut harus melakukan sejumlah inovasi untuk mempertahankan usahanya.
Pilihan pun, kata Eka hanya ada dua yakni terus bergerak dan berubah menyesuaikan zaman, atau bertahan dengan cara lama tapi bisa berujung gulung tikar atau bangkrut.
“Pas pandemi melonjak, pasar-pasar ini kan pada tutup ya. Kita harus putar otak, akhirnya dicobalah beralih ke digital. Memang sulit, tapi lama-lama jadi bisa baca polanya, yang penting main di konten dan branding,” katanya.
“Dari jualan online, usaha saya sendiri saja semasa pandemi minimal Rp1 miliar per bulan. Kalau Kampoeng Radjoet ini bisa lebih berkali lipat karena kita upload juga lewat marketplace,” tambah Eka.