“Dalam praktiknya, pihak yang menjadi responden dapat berpartisipasi aktif dan objektif dalam mengisi instrumen yang telah disiapkan,” jelasnya.
Arief menyampaikan pencegahan perkawinan anak penting dilakukan untuk menghindari dampak buruk yang ditimbulkan seperti adanya kemiskinan ekstrem, stunting, dan rendahnya tingkat pendidikan.
“Perkawinan anak berpotensi merampas hak-hak anak, seperti hak untuk memperoleh pendidikan yang layak, perlindungan, bermain, dan hak-hak anak lainnya,” tuturnya.
Menurut Arif, berdasarkan data dari Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) Badan Pusat Statistik (BPS), angka perkawinan anak di Indonesia masih cukup tinggi, yakni mencapai 1,2 juta kejadian.
Dalam data itu, disebutkan bahwa proporsi perempuan umur 20-24 tahun yang berstatus menikah sebelum usia 18 tahun mencapai 11,21 persen dari total jumlah anak.