Duh, Sedang Tren Remaja ‘Nge-Fly’ Minum Rebusan Pembalut

JABARNEWS | JATENG – Badan Narkotika Nasional Provinsi (BNNP) Jawa Tengah masih mendalami fenomena remaja yang kecanduan minum rebusan pembalut. Itu dilakukan setelah marak aksi minum rebusan pembalut bekas oleh remaja di sejumlah daerah di Jawa Tengah.

Dikutip inews.id, para remaja itu nekat meminum air rebusan pembalut agar bisa merasakan sensasi seperti mengonsumsi narkotika jenis sabu.

Psikolog dari Unika Soegijapranata Semarang, Indra Dwi Purnomo mengatakan, aksi itu terjadi karena tidak ada biaya kemudian menimbulkan sugesti.

Baca Juga:  Barnas Adjidin Pastikan Bantuan Korban Gempa di Garut Tersalurkan dengan Benar

Lantas, mereka bereksperimen menggunakan pembalut dimulai dari yang bekas pakai hingga membuka kemasan baru untuk mendapatkan sensasi baru.

“Mereka pilih softex (pembalut) yang bersayap itu entah kenapa. Mereka rata-rata bilang, hasilnya ngeri-ngeri, halusinasinya ngeri,” kata Indra saat menangani remaja pecandu pembalut rebus, di Kantor BNNP Jateng, beberapa waktu lalu.

Menurut Indra, efek fly yang dirasakan remaja pecandu itu berasal dari gel di dalam pembalut. Meski demikian, pihaknya belum mengetahui pasti kandungan bahan kimia yang tersimpan dalam gel. Sekadar yang diketahuinya, gel tersebut berfungsi menyerap air atau darah haid.

Baca Juga:  Jusuf Kalla: Vaksin Mandiri Bantu Percepat Program Vaksinasi Covid-19

“Di dalam softex (pembalut) itu ada semacam gel yang bisa direbus dan bisa bikin fly. Gel softex itu untuk menyerap air supaya enggak tembus. Ini menggunakan kimia-kimia seperti apa, saya enggak tahu persis,” paparnya.

Kepala Bidang Pemberantasan BNNP Jawa Tengah, AKBP Suprinarto mengatakan, kasus remaja kecanduan pembalut rebus ditemukan di beberapa daerah pinggiran kota, seperti Purwodadi, Kudus, Pati, Rembang, serta di Kota Semarang bagian timur.

Baca Juga:  Waduh! Bocah Enam Tahun Asal Padang Lawas Utara Ditemukan Tewas

Supri menyebut, mereka yang mulai kencanduan mengonsumsi air rebusan pembalut berusia pelajar yakni 13-16 tahun. Keterbatasan ekonomi menjadi alasan utama bagi remaja tersebut, karena tak mampu membeli sabu yang harganya mencapai jutaan rupiah per gram. (Vie)

Jabarnews | berita Jawa Barat