Wibowo menjelaskan, perbaikan bus hanya meliputi sistem kelistrikan dan interior, tanpa perawatan menyeluruh. Tersangka A juga mengabaikan perawatan rutin pada sistem rem bus, meskipun mengetahui adanya masalah teknis yang dilaporkan oleh sopir.
“Yang bersangkutan mendapat laporan dari S (sopir) bahwa mobil dalam kondisi bermasalah. Namun, yang bersangkutan tidak memerintahkan berhenti,” ungkap Wibowo.
Selain itu, tidak ada standar operasional prosedur untuk menangani bus bermasalah saat beroperasi dan mengangkut penumpang.
Fakta lain yang terungkap adalah bus tersebut tidak layak jalan karena KIR bus sudah kedaluwarsa sejak 6 Desember 2023. Selain itu, fungsi rem tidak optimal karena kompresor berisi oli dan air, yang seharusnya hanya berisi angin. “Jarak kampas rem standar 0,45 sentimeter diubah menjadi 0,3 meter,” ujarnya.
“Begitu pun dengan minyak rem, setelah dilakukan pemeriksaan oil indikator, lampu merah menandakan minyak rem tidak layak digunakan,” tambahnya.
Wibowo juga menyebutkan bahwa kebocoran pada bus menyebabkan tekanan angin untuk menggerakkan hidrolik tidak berfungsi maksimal, sehingga kekuatan rem terganggu.
Akibat kelalaian tersebut, kedua tersangka dijerat dengan Pasal 311 Undang-Undang Lalu Lintas juncto Pasal 55 KUHP subsider dan atau Pasal 359 KUHP, yang membawa ancaman pidana penjara hingga 12 tahun atau denda Rp 24 juta serta pidana denda selama 5 tahun.
Kasus ini menyoroti pentingnya perawatan kendaraan dan kepatuhan terhadap standar keselamatan untuk menghindari tragedi serupa di masa depan. (red)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News