JABARNEWS | PURWAKARTA – Kader Nahdlatul Ulama Jawa Barat Farid Farhan angkat bicara terkait vonis terdakwa Meiliana (44). Perempuan keturunan Tionghoa tersebut divonis 18 bulan penjara atas dakwaan penodaan agama.
Pasal 156 KUHP didakwakan kepadanya karena dia mengeluhkan suara speaker masjid yang terlalu keras. Rumah Meiliana diketahui hanya berjarak 7 meter dari Masjid Al Maksum, Tanjung Balai, Sumatera Utara.
Menurut Farid, publik harus memahami perbedaan antara konten agama dan speaker masjid. Adzan menurut dia merupakan konten agama yang harus dihormati semua umat tanpa kecuali. Sementara speaker masjid merupakan produk manusia yang memiliki kualitas suara berbeda-beda.
Pengalaman dirinya sebagai Ketua Lembaga Takmir Masjid Nahdlatul Ulama PCNU Purwakarta telah membuktikan fenomena tersebut. Menurut dia, kualitas suara speaker masjid sering luput dari perhatian pengurus dan jemaah masjid sendiri.
“Meiliana itu mengeluh tentang suara speaker masjid yang menurut dia terlalu ribut. Artinya, dia tidak masuk ke dalam konten Agama Islam, melainkan masuk ke produk manusia dalam hal ini speaker. Saya kira itu bukan penodaan agama,” kata Farid, di kantornya, Jalan Mr Dr Kusuma Atmaja, Kamis (23/8/2018).
Pimpinan Majelis Taklim Aayatul Mahabbah itu mengimbau semua umat beragama agar membangun kesadaran bermasyarakat. Menurut dia, hal ini penting agar tidak terjadi gejolak saat suatu umat menjalankan kewajiban agamanya masing-masing.
“Sadar sosial itu perlu. Jadi, tidak boleh mengukur kemakmuran masjid dari besar tidaknya volume speaker. Ini bisa menjadi bias orientasi nantinya. Belum lagi, suara speaker itu tergantung kualitas speaker. Suara pelafal bisa tambah baik, bisa juga tambah buruk,” ujarnya.
Beda Meiliana Beda Ustadz Evie
Farid menuturkan kasus ceramah Ustadz Evie Effendi lebih memenuhi unsur Pasal 156 KUHP dibanding kasus Meiliana. Menurut dia, ustadz gaul asal Kota Bandung tersebut telah nyata-nyata masuk ke dalam konten agama. Hal itu tidak dia lihat dalam kasus Meiliana.
“Nah, kalau kasus Mang Evie itu soal konten agama. Ada Nabi terakhir dan paling agung dalam Agama Islam yang dia sebut. Parahnya, dia menyebut Nabi Muhammad sesat. Ini kalau kita bicara silogisme. Dia berkata setiap orang sesat awalnya, Muhammad termasuk. Maka simpulan itu adalah Muhammad sesat,” jelasnya.
Pria yang belasan tahun mengenyam pendidikan di pesantren itu membeberkan isi dari beberapa kitab tafsir. Kitab tersebut secara lengkap membahas tafsir ayat per ayat dari Alquran. Termasuk Surat Adl-Dluha ayat 7 yang dibahas Ustadz Evie Effendi dalam ceramahnya.
“Ibnu Katsir meriwayatkan pendapat Imam al-Baghawiy saat menafsirkan Surat Adl-Dluha ayat 7. Maksud ‘Dhollan’ (sesat) dalam ayat itu adalah saat kecil Nabi Muhammad saw pernah tersesat di jalanan Kota Mekah,” katanya.
“Kemudian, pernah juga beliau tersesat saat melakukan ekspedisi dagang ke Syam bersama pamannya. Nah, ‘Fa Hadaa’, maka Allah swt memberikan petunjuk jalan. Nabi Muhammad saw berhasil ditemukan kembali oleh kakeknya saat kecil dan kembali menemukan rute perjalanan saat ke Syam,” jelasnya.
Penjelasan senada juga menurut Farid dapat ditemukan dalam kitab tafsir lain. Di antaranya, Tafsir Showi, Tafsir Tanwiirul Maqbas, dan Tafsir Miraah Lubaid atau Tafsir Munir.
Berdasarkan keterangannya, seluruh tafsir tersebut tidak ada yang menjelaskan Nabi Muhammad saw sesat secara akidah.
“Hati-hati, tersesat di jalanan itu berbeda dengan sesat. Silakan saja para ahli bahasa menginterpretasi ini. Saya kira, perlu ditanya juga para ahli tafsir di pesantren. Saya minta pihak kepolisian untuk tidak berpegang pada terjemah saja,” ujarnya. [jar]
Jabarnews | Berita Jawa Barat