JABARNEWS | PURWAKARTA – Tidak lama lagi masyarakat Kabupaten Purwakarta akan memilih bupati dan wakil bupati Purwakarta melalui Pilkada Serentak 2024. Saat ini, tahapan Pilkada memasuki masa kampanye hingga tanggal 23 November 2024.
Dalam masa kampanye ini, setiap pasangan calon (paslon) peserta Pilkada diberi kesempatan untuk menjabarkan visi, misi, dan program unggulannya kepada masyarakat Purwakarta.
Pada pesta demokrasi di Purwakarta, pemilihan bupati dan wakil bupati diikuti oleh empat pasangan calon. Keempat paslon pun sudah memiliki nomor urut yang akan digunakan selama masa kampanye hingga nanti akan tertera dalam surat suara pada hari pemungutan suara, 27 November 2024 mendatang.
Empat paslon tersebut adalah pasangan ZEINJO (Saepul Bahri Binzein – Abang Ijo Hapidin) dengan nomor urut 1, lalu nomor urut 2 pasangan YAKIN (Yadi Rusmayadi dan Pipin Sopian), nomor urut 3 pasangan Anne-Budi (Anne Ratna Mustika dan Budi Hermawan), serta nomor urut 4 pasangan ZASON (Zainal Arifin dan Sona Maulida Roemardie).
Keempat peserta Pilkada Purwakarta ini mengusung visi dan misinya masing-masing untuk membangun Kabupaten Purwakarta dalam lima tahun kedepan agar menjadi lebih baik, yang juga telah dipublikasikan oleh KPU Kabupaten Purwakarta melalui unggahan di akun Instagram @purwakartakpu, pada 15 September 2024 lalu.
Namun dalam visi dan misi keempat pasangan calon bupati dan wakil bupati Purwakarta itu, tidak ada satupun pasangan calon yang memasukan isu pemberantasan korupsi atau antikorupsi secara eksplisit, jelas dan gamblang. Bahkan, tidak satu pun kata ‘korupsi’ ditemukan di dalam misi yang diusung keempat pasangan calon kepala daerah di Kabupaten Purwakarta.
Sementara itu dalam Laporan Hasil Pemantauan Tren Korupsi Tahun 2023, Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat sepanjang tahun 2023 terdapat 791 kasus korupsi di Indonesia, dan 1.695 orang telah ditetapkan sebagai tersangka oleh aparat Kepolisian, Kejaksaan, dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Dari 1.695 orang yang telah ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi tersebut, 16 orang diantaranya adalah kepala daerah dan 419 orang adalah pegawai pemerintah daerah baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota.
Dalam laporan yang sama, ICW mencatat dari 1.695 orang yang ditetapkan sebagai tersangka, 38 persennya berstatus sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN). Dan 61,8 persen tersangka lainnya berstatus bukan ASN, sedangkan sisanya sebesar 0,2 persen adalah korporasi.
Maraknya kepala daerah dan pegawai pemerintah daerah yang terjerat kasus korupsi di Indonesia, tentunya menjadi tolak ukur bagi masyarakat dalam menentukan calon kepala daerah yang mempunyai komitmen yang kuat dan jelas dalam menjalankan roda pemerintahan yang bebas dari korupsi, termasuk menjadi tolak ukur bagi masyarakat Purwakarta dalam menentukan calon pemimpin daerahnya.
Meski isu korupsi menjadi salah satu permasalahan utama yang kerap dikaitkan dengan pemerintahan daerah, tidak ada satupun dari empat pasangan calon (paslon) yang secara eksplisit, jelas dan gamblang mencantumkan komitmen mereka terhadap pemberantasan korupsi jika dilihat dari tidak adanya kata ‘korupsi’ yang tersirat dalam visi dan misinya.
Paslon Harus Berkomitmen Programnya Tidak Hanya ‘Sekedar Terlaksana’
Shela Amelia, seorang mahasiswi yang juga koordinator Aliansi Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Purwakarta menyoroti komitmen antikorupsi paslon bupati dan wakil bupati Purwakarta dengan kritis.
Semakin maraknya kasus korupsi yang melibatkan petinggi daerah, menurut Shela, menjadi hal yang penting bagi setiap paslon kepala daerah memasukan isu pemberantasan korupsi dalam visi-misinya.
“Sebagai generasi muda dan seseorang yang mempunyai hak pilih, menurut saya penting kiranya memasukkan isu pemberantasan korupsi secara lugas dalam visi misi setiap paslon. Apalagi, korupsi kerap menghambat pembangunan dan pelayanan publik,” ujarnya.
Shela menilai bahwa masyarakat butuh komitmen yang jelas dan pasti dari para calon kepala daerah terkait upaya pemberantasan korupsi di Kabupaten Purwakarta.
Ia juga menyoroti penggunaan frasa dalam visi-misi yang mungkin sulit dipahami oleh sebagian masyarakat awam.
“Karena yang perlu diterapkan disini adalah inklusivitas dimana frasa-frasa yang digunakan itu harus dipastikan bisa dipahami semua kalangan. Coba untuk menggunakan narasi yang mudah dipahami,” tambah Shela.
Menurutnya jika kata-kata itu sulit untuk dipahami oleh masyarakat, maka komitmen antikorupsi paslon tidak akan tersampaikan dengan baik.
Shela mengatakan visi-misi para paslon yang telah dipublikasikan memang tidak ada yang secara gamblang menyebutkan pemberantasan korupsi. Namun menurutnya, beberapa paslon sudah ada yang berupaya menciptakan pemerintahan serta birokrasi yang bersih, transparan dan efektif yang merupakan bagian dari upaya antikorupsi.
Akan tetapi, Shela menyayangkan bahwa komitmen antikorupsi para paslon sejauh ini masih bersifat tersirat.
“Tapi ya lagi-lagi ini hanya komitmen tersirat, sayangnya tidak ada komitmen secara eksplisit dan lugas dalam kata-kata para paslon. Ini bisa membuat masyarakat ragu sejauh mana dan seserius apa komitmen paslon terkait isu korupsi, mengingat korupsi menjadi masalah yang sangat besar. Apalagi jika ketika kampanye tidak dijelaskan sama sekali,” ungkapnya.
Shela juga menekankan pentingnya paslon untuk memaparkan komitmen antikorupsi secara gamblang, jelas dan lugas dalam setiap kampanye. Menurutnya, hal ini bisa menjadi cara bagi paslon untuk meyakinkan masyarakat bahwa program-program yang ditawarkan akan dijalankan dengan bersih dan akuntabel.
“Selain mempromosikan program unggulannya, tentu para calon juga harus mampu meyakinkan dan berkomitmen bahwa program-program ini tidak hanya ‘sekedar terlaksana’, tetapi juga terlaksana dengan tepat sasaran, akuntabel, bersih dan dapat dipertanggungjawabkan,” tegasnya.
Menurut Shela, masyarakat sebagai pemilih harus cermat dalam menimbang komitmen antikorupsi dari para paslon. Ia menuturkan seyogyanya masyarakat tidak hanya sekedar melihat visi-misi atau program paslon saja, tetapi juga harus pandai melihat komitmen paslon terhadap isu korupsi, meskipun belum tercantum secara lugas dalam visi-misinya.
“Selama dari pihak para calon berhasil untuk menjelaskan mana yang menjadi bagian dari komitmen mereka dalam menyelesaikan isu korupsi ini, baik turunan dari visi-misi atau programnya, itu bisa menjadi salah satu poin analisis untuk kita memilih,” jelasnya.
Shela juga mengatakan dengan melihat rekam jejak paslon dapat menjadi poin penting bagi masyarakat, terutama para generasi muda dalam menentukan pilihannya.
Program Unggulan Paslon Tidak Akan Berjalan Dengan Pemerintahan Koruptif
Hal senada terkait komitmen paslon bupati dan wakil bupati Purwakarta terhadap isu korupsi pun diungkapkan oleh pemerhati kebijakan publik di Purwakarta, Agus M Yasin.
Agus Yasin mengungkapkan masyarakat Kabupaten Purwakarta berhak mendapatkan sosok bupati dan wakil bupati Purwakarta yang tidak hanya berfokus pada pembangunan infrastruktur atau peningkatan ekonomi, tetapi juga memiliki komitmen dan keberanian untuk memberantas korupsi hingga ke akarnya.
“Sebuah daerah tidak akan berkembang dengan baik, jika pemimpinnya tidak berkomitmen untuk membersihkan pemerintahannya dari praktik-praktik koruptif,” ujarnya.
Janji atau komitmen paslon untuk menciptakan tata kelola pemerintahan yang antikorupsi, menurut Agus Yasin sudah seharusnya menjadi perhatian utama bagi masyarakat sebagai pemilih.
“Masyarakat sebagai pemilih yang mempunyai hak suara harus bijak dalam menentukan pilihannya. Memilih pemimpin bukan hanya soal popularitas, tetapi tentang siapa paslon yang mampu menjaga amanah rakyat dengan integritas yang tinggi,” sambung Agus Yasin.
Karena sebagus apapun program yang dijanjikan dan dijalankan oleh paslon ketika sudah terpilih menjadi kepala daerah, menurutnya tidak akan berjalan sesuai dengan yang direncanakan seandainya pemerintahannya tidak bersih dari praktik-praktik koruptif.
Agus Yasin juga mengajak seluruh elemen masyarakat Kabupaten Purwakarta untuk terus mengawasi jalannya pemerintahan agar praktik korupsi tidak merusak implementasi program-program unggulan yang dijanjikan para paslon dan sudah direncanakan dengan baik.
“Kita sebagai masyarakat harus bisa memastikan dan mengontrol bahwa setiap rupiah dari anggaran daerah benar-benar digunakan untuk kepentingan masyarakat, bukan untuk memperkaya segelintir pihak,” tegasnya.
Lebih lanjut, Agus Yasin juga mengatakan bahwa bupati sebagai seorang pemimpin daerah setingkat kabupaten boleh saja merasa dirinya adalah pejabat politik yang dipilih oleh rakyat. Namun, hal ini bukan berarti bahwa keputusan pengelolaan pemerintahan daerah sepenuhnya bisa disesuaikan dengan keinginan politik pemimpin tanpa mempertimbangkan aturan hukum yang ada.
“Walaupun dipilih dengan mekanisme politik, bupati dan wakil bupati yang terpilih harus memahami bahwa pada akhirnya, mereka adalah pejabat pemerintahan yang harus tunduk pada ketentuan hukum administrasi negara dalam pengelolaan pemerintahan,” jelasnya.
Menurut Agus Yasin, bupati sebagai pemimpin daerah memiliki kewenangan yang luas dalam pengelolaan keuangan dan pelaksanaan APBD.
“Kewenangan bupati sebagai kepala daerah mencakup berbagai hal, mulai dari pengelolaan keuangan, aset, hingga kepegawaian. Namun, semua itu harus tunduk pada aturan hukum. Kegagalan kepala daerah dalam mematuhi aturan bisa berujung pada pelanggaran hukum, yang pada akhirnya merugikan masyarakat,” lanjutnya.
Fenomena korupsi kepala daerah, menurut Agus Yasin, seringkali terjadi karena penyalahgunaan kewenangan yang besar. Mulai dari praktik pemotongan anggaran proyek hingga jual beli jabatan dan perizinan, semuanya mencerminkan rendahnya tingkat ketaatan kepala daerah terhadap hukum.
“Maraknya korupsi di daerah menunjukkan bahwa kepala daerah seringkali menjadi sumber masalah korupsi. Kepala daerah yang korup, akan membuat roda pemerintahan daerah dikelola dengan cara-cara koruptif,” terang Agus Yasin.
Kepala daerah yang korup tentu tidak sesuai dengan harapan masyarakat. Seharusnya menurut Agus Yasin, bupati dan wakil bupati sebagai kepala daerah yang dipilih langsung oleh rakyat membawa visi-misi untuk memberantas korupsi dan menciptakan pemerintahan yang bebas dari praktik korupsi.
“Tanpa adanya komitmen yang kuat dari pemimpin daerah, kebijakan antikorupsi sulit diimplementasikan secara efektif di tingkat pemerintahan daerah,” katanya.
Agus Yasin juga mengungkapkan momen Pilkada harus dimanfaatkan masyarakat Purwakarta untuk memilih calon bupati dan wakil bupati yang memiliki integritas serta rekam jejak yang baik.
“Salah satu indikatornya adalah komitmen dan program antikorupsi yang ditawarkan oleh para paslon bupati dan wakil bupati Purwakarta,” pungkasnya.(Hen)