JABARNEWS | BANDUNG – Pengamat ekonomi dari Universitas Pasundan (Unpas) Bandung, Acuviarta Kartabi menanggapi terkait maraknya kasus pinjaman online (pinjol) yang akhir-akhir ini kembali mencuat.
Fenomena pinjol bukanlah hal baru, sebab dalam 1 sampai 1,5 tahun ke belakang kasus ini telah ramai diperbincangkan, karena banyak yang jadi korban.
Menurut Acuviarta Kartabi, pandemi Covid-19 membuat perekonomian masyarakat terpuruk, utamanya ekonomi rumah tangga sehingga dengan mudah pinjol ini semakin membesar.
Baca Juga: Geger Kasus Pembuhan di Samosir, Seorang Anak Penggal Kepala Ayahnya Sampai Putus
Namun, maraknya pinjol tak diikuti dengan peningkatan literasi masyarakat yang idealnya nasabah harus paham akan perhitungan bunga dan dampaknya jika terjadi gagal bayar.
“Pinjol ini kan mengatasi terbatasnya aksesibilitas masyarakat pada perbankan, sehingga ada golongan yang mengambil pilihan untuk meminjam di pinjol,” kata Acuviarta Kartabi, Minggu 17 Oktober 2021.
Menurut dia, sebenarnya meminjam di pinjol tak menjadi masalah. Namun, harus dipertimbangkan rencana penggunaan dan pembayarannya, apalagi tak semua legal.
Baca Juga: Polres Sukabumi Amankan 4.300 Benur Siap Ekspor, Dua Penjual Jadi Tersangka
Akhir-akhir ini juga, Acuviarta Kartabi menyebut banyak berkembang pinjol ilegal, sehingga aktivitasnya tak terpantau Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Selain itu, pinjol ilegal juga berpotensi memanfaatkan ketidaktahuan nasabah dengan berbagai konsekuensi skema pinjaman dan administrasinya, yang pada akhirnya bisa menjebak dan merugikan nasabah.
Salah satu alasan berkembangnya pinjol di Indonesia, kata Acuviarta Kartabi, ialah lantaran kemudahan dan praktis dari sisi produk. Sementara dari sisi nasabah, perbankan semakin selektif dalam menyalurkan kredit di masa pandemi.
Baca Juga: Pedagang Pasar Lelo Serdang Bedagai Nyaris Bentrok dengan Satpol PP, Ini Penyebabnya
“Ketika permintaan ada dan penawaran ada bertemu di titik keseimbangan, lalu ada niat juga kesempatan, sedangkan saat ingin meminjam ke perbankan persyaratannya tak mudah dan tak cepat,” katanya.
“Sementara waktu bersamaan ada kesempatan mendapat pinjaman dari pinjol, tak perlu keluar rumah cukup buka HP dan masuk ke aplikasi pinjol, sehingga terwujud. Tapi, mereka tak pikirkan bagaimana membayarnya,” ujarnya.
Dia berharap, pinjol ilegal harus tetap dibubarkan dan ditindak secara hukum jika memang terbukti merugikan nasabah dengan kewajiban-kewajiban yang tak rasional.
Baca Juga: PT SPS Dorong Inklusi Keuangan Syariah Berbasis Masjid di Jawa Barat
Kemudian bisa mengharapkan perbankan dapat membuat produk sejenis (secara online) dengan syarat yang lebih mudah dan dukungan big data yang optimal untuk menekan resiko.
Di samping itu, katanya, literasi haruslah terus dibangun agar nasabah paham resiko untung dan rugi jika di kemudian hari terjadi masalah akibat pinjol yang diterimanya.
“Tantangan terbesar itu tingkat bunga di negeri ini bisa turun. Bayangkan, bunga di Indonesia adalah tertinggi di dunia,” kata Acuviarta Kartabi.
“Ditambah perbankan mengambil selisih bunga simpanan dengan bunga kredit yang sangat tinggi atau biasa disebut net interest margin (NIM),” katanya.
“Intinya, bukan hanya masalah mikro, tetapi masalah makro moneter bagaimana pinjaman bisa lebih terjangkau. Dan masyarakat yang profilnya bagus dapat pinjaman lebih mudah dengan syarat yang lebih mudah juga,” katanya. (Yan)***