JABARNEWS | BANDUNG – Majelis Hakim Pengadilan Negeri Bandung menghentikan sementara sidang dugaan penggelapan dana pinjaman investasi tekstil senilai Rp 100 miliar yang melibatkan terdakwa MT (70) pada Selasa, 12 Oktober 2024. Jaksa Penuntut Umum (JPU) gagal menghadirkan bukti penting, yaitu cek transfer senilai puluhan miliar rupiah sebagai dasar untuk memperkuat atau menepis tuduhan penggelapan dana.
Hakim Tuti Haryati memimpin sidang ini. Ketegangan terjadi ketika pengacara terdakwa, Dr. Yopi Gunawan, S.H., M.H., menanyakan asal dana yang diterima MT kepada saksi The Siauw Tjhiu. Saat itu, Jaksa Penuntut Umum (JPU) tidak bisa menunjukkan bukti transfer yang diminta. Ketika Yopi bertanya, “Saudara transfer dari rekening siapa?” JPU menjawab bahwa bukti cek masih dalam perjalanan. Hakim pun memutuskan untuk menunda sidang hingga Kamis depan agar JPU bisa menyiapkan bukti yang dibutuhkan.
Kesepakatan Lisan dalam Pinjaman Dana
Saksi The Siauw Tjhiu mengungkapkan bahwa MT pernah meminjam dana darinya untuk investasi mesin tekstil. Pinjaman tersebut ia berikan secara bertahap selama dua tahun hingga total mencapai Rp 100 miliar. Kejanggalan muncul karena tidak ada perjanjian tertulis antara keduanya, sehingga kesepakatan ini sepenuhnya lisan.
Menurut saksi, terdakwa awalnya tidak menjanjikan keuntungan tertentu, namun kemudian berjanji memberikan keuntungan 2,5 persen dari dana investasi. Pengaturan lisan ini menuai kecurigaan, terutama mengingat jumlah dana yang besar. Tanpa perjanjian tertulis, status utang dalam perkara ini menjadi tidak jelas.
Cek Kosong Mencurigakan
Saksi juga menyebutkan bahwa terdakwa menyerahkan beberapa lembar cek sebagai jaminan. Namun, cek tersebut ternyata kosong ketika dicairkan. Hal ini semakin memperkuat dugaan bahwa MT memang berniat menggelapkan dana investasi.
Pengacara terdakwa, Dr. Yopi Gunawan, menekankan bahwa bukti transfer sangat diperlukan untuk memastikan apakah dana berasal dari rekening pribadi atau rekening perusahaan. Menurutnya, jika dana berasal dari rekening perusahaan, utang tersebut bukan utang pribadi MT, melainkan utang perusahaan.
Pembayaran Bertahap Terhenti
Awalnya, terdakwa memberikan pembayaran melalui cek yang ditandatangani oleh keponakannya, anak,adik dan saudara terdakwa. Saksi menerima pembayaran bertahap mulai dari Rp 5 miliar hingga Rp 15 miliar, sehingga totalnya mencapai Rp 34 miliar. Namun, pembayaran berikutnya sebesar Rp 66 miliar tidak pernah terjadi karena cek yang diberikan terdakwa ternyata tidak ada dananya. Akibat kejadian ini, saksi pun melaporkan kasus tersebut ke pihak berwajib.
Kuasa hukum Yopi Gunawan menyatakan bahwa mereka memiliki bukti bahwa mesin tekstil yang dimaksud memang sudah diambil. saksi Namun menurutnya, hal yang perlu dibuktikan adalah penerima awal transfer tersebut. Bukti yang dimiliki Yopi menunjukkan bahwa transfer bukan berasal dari saksi, melainkan dari pihak PT atau Rino.
Yopi meminta kepada hakim agar memerintahkan Jaksa untuk menghadirkan bukti tersebut. Jaksa, menurutnya, harus mampu menjelaskan fakta-fakta yang benar terkait kasus ini. Sebelumnya, majelis hakim menilai bahwa akan sulit membuktikan adanya unsur pidana jika Jaksa tidak dapat menunjukkan bukti yang cukup. Oleh karena itu, hakim memberikan waktu kepada Jaksa hingga minggu depan untuk menyajikan barang bukti, agar situasi menjadi lebih terang.
Saat ini, tim kuasa hukum sedang mengumpulkan bukti terkait transaksi, termasuk soal kelebihan pembayaran sebesar 36 yang diberikan kepada pelapor. Proses ini bagian dari pembuktian untuk mengungkapkan fakta secara lengkap
Kasus Perdata Sebelumnya
Sebelum kasus ini masuk ke ranah pidana, MT mengajukan gugatan perdata terkait masalah yang sama pada 1 Juli 2024. Gugatan ini terdaftar dengan nomor perkara 267/Pdt.G/2024/PN.Bdg. Pengacara terdakwa berharap kasus perdata ini dapat menjadi referensi dalam menentukan status utang yang menjadi inti masalah pidana ini.
Ketidaksiapan JPU Jadi Sorotan
Penundaan sidang ini menimbulkan kekhawatiran publik terhadap kesiapan pihak berwenang dalam menangani perkara dengan nilai besar ini. Masyarakat berharap agar JPU segera menghadirkan bukti yang diperlukan agar persidangan berjalan lancar dan transparan. Kasus ini juga memicu pertanyaan mengenai keamanan investasi tanpa perjanjian tertulis, terutama dengan jumlah dana yang sangat besar.
Kritik terhadap Investasi Tanpa Perjanjian Tertulis
Kasus ini menyoroti risiko besar dalam investasi tanpa landasan hukum yang jelas. Transaksi yang hanya didasari perjanjian lisan menimbulkan masalah hukum yang kompleks. Ketidakmampuan JPU dalam menyajikan bukti penting menunjukkan kelemahan prosedur hukum dalam menangani kasus bernilai besar.
Dengan penundaan ini, publik menunggu langkah selanjutnya dari JPU. Apakah JPU mampu menghadirkan bukti yang diperlukan? Bagaimana status utang dalam transaksi tanpa perjanjian ini akan ditentukan? Sidang mendatang diharapkan bisa memberikan kejelasan hukum bagi semua pihak yang terlibat.(Red)