“Coba KLHK sikapi isu sensitif yang viral, misalnya beberapa waktu lalu ekskavator berhadapan dengan harimau. Pertanyaan saya kalau ekskavator sudah berhadapan dengan harimau berarti yang salah ekskavator karena melakukan perluasan kawasan sawit lagi. Pertanyaan saya sawit itu mau sampai kapan diperluas? Apakah kita tidak akan menyisakan ruang konservasi, kita tidak akan menyisakan hutan lindung? Apakah negeri ini cukup dengan satu komoditi? Ini harus ada penjelasan publik dalam rangka menjaga yang sudah ada. Kita malu dong sama harimau yang halangi ekskavator,” katanya.
Dedi berpandangan tidak ada kaitannya aspirasi DPR RI dengan memperjuangkan kepentingan publik dengan aspek-aspek yang melemahkan daya kritis.
“Saya tidak mau anggota DPR dapat aspirasi, misal Rp500 juta untuk di dapil kemudian diam terhadap 100 ribu hektare hutan yang digunduli. Misal kita dapat aspirasi Rp500 juta tidak ada artinya tapi kerusakan lingkungan terjadi di mana-mana. Aspirasi adalah kebutuhan publik yang tidak bisa dikaitkan dengan apa pun. Saya rela tidak ada aspirasi asalkan KLHK bisa fokus dan tegas mengatasi lingkungan,” kata dia.
Dedi menyoroti kerugian negara yang jika dikalkulasikan bisa mencapai triliunan. Salah satu contohnya seseorang mendapatkan izin penambangan di areal 100 hektare namun bisa jadi pohon yang dibabat mencapai 1.000 hektare.
Hal tersebut, katanya, sering tidak terdeteksi karena masalah kewenangan. Tidak hanya terjadi di Kalimantan atau Sumatera yang memiliki areal hutan luas, tapi terjadi juga di Jawa yang padat penduduk.
“Jangan jauh-jauh, di Jawa Barat penambangan batu pakai bom (di Karawang) dibiarkan, penambangan pasir dibiarkan, semua tidak peduli. Kok tidak peduli karena berbicara kewenangan. Di kabupaten, Satpol PP merasa bukan kewenangan karena izinnya di kementerian, sementara kementerian tidak ada petugasnya. Ini kan kehancuran terus berlangsung,” ucapnya.