Belum lagi sistem zonasi, yang kuotanya hampir 50 persen di tiap sekolah. Sejauh ini dari hasil pemantauan Komisi V kata Hadi, banyak orangtua yang mengakali dengan pindah alamat sementara ke dekat sekolah dimana mereka inginkan.
“Ternyata banyak yang mengakali pindah KK (Kartu Keluarga). Setelah masuk (sekolah), kembali ke alamat lama. Secara hukum ini tidak ada yang dilanggar. Tapi banyak dikeluhkan. Sekolah juga tidak bisa melakukan pengecekan, karena tidak ada kewenangan. Ini harus jadi bahan evaluasi,” ucapnya.
Paling parah kata Hadi, adanya dugaan jual beli kursi di sekolah. Celah ini muncul karena tidak ada standar baku akan jumlah kursi tiap kelas di masing-masing sekolah. Rerata kata dia, sekolah menyediakan 32-36 kursi di tiap kelas. Namun, dalam PPDB mereka hanya menyertakan kuota 32 kursi. Sementara sisa empat kursi, terindikasi diperjualbelikan.
“Ada indikasi dijualbelikan. Makanya harus disebutkan sejak awal. Kalau ruang kelas ada 36 kursi, ya 36 sejak awal. Inspektorat (Kemdikbud), harus ada pengontrolan bahwa jumlah siswa yang masuk (PPDB) dan hadir harus sama. Ini masih banyak terjadi, termasuk (siswa) titipan. Saya komunikasi dengan komite sekolah, praktisi pendidikan, kepala sekolah, ternyata masih ada pejabat tertentu (memanfaatkan) fasilitas yang ada,” paparnya.
Dia berharap, ada evaluasi yang dilakukan oleh pemerintah pusat melalui Kemdikbud agar pendidikan di Indonesia dapat berjalan sesuai harapan dan tidak ada lagi kecurangan-kecurangan, memanfaatkan celah dari lemahnya sistem PPDB.