DPRD Jabar: Permendikbud PPKS Harus Dicabut dan Tolak RUU TPKS

JABARNEWS | BANDUNG – Aliansi Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) Pengurus Wilayah (PW) Jawa Barat menggelar aksi demonstrasi untuk menolak Peraturan Menteri Pendidikan Kebudayaan Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Permendikbudristek) Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) yang telah ditandatangani Menteri Nadiem Makarim pada 31 Agustus 2021 lalu.

Selain itu Aliansi KAMMI Jabar juga mendesak agar Badan Legislatif (Baleg) DPR RI untuk tidak mengesahkan Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) yang direncanakan bakal segera disahkan oleh DPR RI.

Para masa aksi tersebut langsung diterima untuk beraudensi oleh Wakil Ketua Komisi V DPRD Provinsi Jawa Barat, Abdul Hadi Wijaya di Ruang Komisi V DPRD Provinsi Jawa Barat, Jalan Diponegoro No. 27, Kota Bandung.

Baca Juga: Begini Komitmen Ridwan Kamil untuk Kemajuan Desa di Jabar

Baca Juga: Siap Disanksi, Hengki Kurniawan Rekomendasikan UMK Bandung Barat 2022 Naik 7 Persen

Pria yang akrab disapa Gus Ahad ini menjelaskan pemahaman mengenai Permendikbudristek No. 30 dan RUU TPKS harus diperluas, mengingat sama halnya pada saat pengesahan Peraturan Menteri dan RUU tersebut tidak berbeda dengan saat pengesahan RUU Cipta Kerja dan itu merupakan suatu pembodohan agar masyarakat tidak tahu apa isi Permen dan RUU tersebut.

Baca Juga:  Walah! Berhalusinasi, Seorang Emak di Ciamis Terjun ke Dalam Sumur

“Pemahaman harus diperluas, karena bangsa Indonesia ini masih kurang minatnya untuk membaca. Ini ada semacam bentuk sistematis pembodohan untuk melarang masyarakat untuk tahu. Ini menjadi modus, seperti RUU Cipta kerja omnibuslaw yang ketika rapat pengesahan banyak konstitusi yang dilarang untuk berbicara atau intrupsi,” katanya di Bandung, Kamis 25 November 2021.

Baca Juga: Ditagih Bayar Oli Rp40 Ribu, Tukang Kelapa di Bandung Tebaskan Golok ke Leher Pria Mabuk

Baca Juga: UMK 2022 di Kabupaten Bekasi Direkomendasikan Rp5 Juta, Ribuan Buruh Bubarkan Diri

Menurut Gus Ahad, kondisi politik saat ini di Indonesia bisa dibilang tidak berimbang terutama yang berada di pusat dibandingkan tingkat Provinsi, Kabupaten/Kota sehingga keputusan dari pusat harus diterima.

“Saya rasakan pertarungan ideologis lewat kondisi politik yang tidak berimbang terjadi di tingkat nasional, di Provinsi Kabupaten Kota lebih cair,” ucapnya.

Pihaknya juga sebelumnya sempat menerima audiensi dari beberapa organisasi Islam mengenai penolakan Permen PPKS dan RUU TPKS, dan dirinya sepakat untuk menolak RUU tersebut dan Peraturan itu harus dicabut.

Baca Juga:  Polemik Dedi Mulyadi dan Mahasiswa Terkait Sampah, Monas Institute: Saling Introspeksi Saja

“Yang terjadi adalah, ketika masing-masing berbicara dan masing-masing setuju dan Permen ini harus dicabut,” tegasnya.

Baca Juga: Bersama IDI, Mendes PDTT Abdul Halim Iskandar Ingin Desa Sehat dan Sejahtera

Baca Juga: Berikutnya Lawan Arema, Pelatih Persib Minta Wander Luiz dan Castillion Tetap Produktif

Gus Ahad berjanji akan menyampaikan tuntutan dari Aliansi KAMMI ini kepada pimpinan DPRD Provinsi Jawa Barat untuk menjadi masukan dan disampaikan ke pusat atau pihak terkait mengenai Permen dan RUU TPKS tersebut.

“Nanti oleh staf kami dibuat sesuai prosedur dibuat kontennya untuk disampaikan. Saya akan melaporkan kepada pimpinan DPRD, dan pimpinan DPRD wajib melaporkan kepada pusat,” ucapnya.

Baca Juga: Tunggu Rekomendasi Kenaikan UMK, Ribuan Buruh Terus Kepung Pendopo Pemkab Cianjur

Baca Juga: Hari Guru Nasional, Ini Janji Wakil Presiden Ma’ruf Amin kepada Para Guru

“Ini menjadi suara yang menjadi wakil kalian semua, maka saya akan merekomendasikan kepada pimpinan untuk menyampaikannya ke instansi terkait mengenai tuntutan kalian semua,” tutup Gus Ahad.

Baca Juga:  Penjualan Meningkat, Crown Group Akan Lanjutkan Proyek Hunian di Brisbane

Sementara itu, Ketua Umum PW KAMMI Jabar, Ahmad Jundi menyebut, Permendikbudristek No. 30 ini menjadi polemik karena penggunaan frasa yang masih ambigu dan menimbulkan multitafsir seperti kalimat “tanpa persetujuan korban” yang ada dalam peraturan tersebut.

“Penggunaan frasa “tanpa persetujuan korban” menjadi ambiguitas dan menimbulkan multitafsir,” ujar Jundi.

Menurutnya, Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia ke VII di Jakarta pun menolak akan Permendikbudristek No. 30 tersebut karena bertentang dengan syariat Islam dan UUD 45.

Baca Juga: Ingin Sampaikan Tuntutan Soal UMK, Ratusan Buruh Tunggu Bupati Cirebon hingga Petang

Baca Juga: Tanpa Diskon! Ini Tips Agar Omset Penjualan Stabil Saat Pandemi Covid-19

“Ketentuan-ketentuan yang didasarkan pada frase “tanpa persetujuan korban” dalam Permendikbudristek bertentangan dengan nilai syariat, Pancasila, UUD 45, perundang-undangan lainnya, dan nilai budaya Indonesia. Sehingga Permendikbudristek ini harus dicabut,” tegas Jundi.

“Hal ini menjadi suatu ancaman kebangsaan dimana pandangan umat beragama diabaikan dan dikebelakangkan dibandingkan aspirasi kebebasan seksual,” pungkasnya.***