BKBH PERSIS Sikapi Putusan Mahkamah Konstitusi dan DPR RI Tentang Aturan Pilkada

Yudi Wildan Latief KepalaBadan Konsultasi dan Bantuan Hukum (BKBH) Pimpinan Pusat Persatuan Islam. (Foto: Istimewa).

Penulis Oleh: Yudi Wildan Latief KepalaBadan Konsultasi dan Bantuan Hukum (BKBH) Pimpinan Pusat Persatuan Islam

JABARNEWS – Perkembangan isu nasional per-hari ini yang begitu sangat pesat mengenai dinamika ketatanegaraan persoalan dengan implementasi aturan untuk melaksanakan Pilkada begitu banyak di respons oleh berbagai pihak.

Kita semua mengetahui bahwa sifat dari putusan Mahkamah Konstitusi itu adalah Final and Binding (Akhir dan Mengikat) artinya memiliki kekuatan imperatif agar semua pihak yang senang atau tidak senang haruslah tunduk dan patuh terhadap isi dan amar putusan tersebut.

Sikap DPR RI melalui Badan Legislatif yang secara cepat membahas Rancangan Undang Undang (RUU) Pilkada harus secara objektif kita pandang juga sebagai aktivitas legislasi yang dibenarkan dan di amanat kan oleh konstitusi.

Baca Juga:  Rekrutmen Penyelenggara Ad Hoc, Perspektif  “Ekspektasi  Masyarakat” Terhadap Pemilu 2024

Anomalinya terletak pada hadirnya dua putusan yang berbeda dari dua Lembaga Yudikatif yakni Mahkamah Agung dalam putusan nomor 23 P/HUM/2024 dan Mahkamah Konstitusi dalam putusan nomor 70/PUU-XXII/2024 dalam memutus persoalan penetapan usia calon Kepala Daerah apakah dihitung sejak pendaftaran atau dihitung ketika dilaksanakan pelantikan.

Secara khusus putusan Mahkamah Konstitusi nomor 60/PUU-XXII/2024 telah menurunkan ambang batas pencalonan untuk Partai Politik atau Gabungan Partai Politik dari 20% menjadi 6,5% – 10%. Hal demikian sanggatlah kontradiktif dengan putusan-putusan Mahkamah Konstitusi yang memutus persoalan Presidensial Treshold di mana Mahkamah dalam pertimbangan hukumnya menegaskan posisi bukan sebagai Positif Legislator melainkan sebagai Negatif Legislator.

Baca Juga:  DPR RI Ingin Layanan Perpustakaan Sekolah Optimal, Ini Alasannya

Indonesia sejak lama telah menetapkan prinsip pembagian kekuasaan ke dalam tiga lembaga kekuasaan yakni Lembaga Eksekutif, Lembaga Legislatif, dan Lembaga Yudikatif. Untuk menyempurnakan prinsip tersebut dibentuklah Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai suatu lembaga baru implikasi dari paham konstitusionalisme di mana sebagai negara hukum maka kekuatan hukum secara umum digunakan untuk mengatasi kekuasaan negara, dengan begitu kebebasan warga negara dijamin oleh konstitusi dan kekuasaan negara dibatasi oleh konstitusi.

Baca Juga:  Cinta Lingkungan ala Milenial Tunisia

Dalam doktrin pemisahan kekuasaan, standing position Mahkamah Konstitusi sebagai Negatif Legislator adalah pendirian yang sudah tepat berdasarkan hukum. Namun, dalam perkembangannya prinsip-prinsip kekuasaan kehakiman yang juga melekat pada Mahkamah Konstitusi lebih sering menonjol sehingga dalam beberapa putusan Mahkamah Konstitusi melakukan suatu terobosan hukum dengan memutus Ultra Petita (putusan yang tidak diminta oleh pemohon) dan legislasi yang aktif (Positif Legislator) sebagai bentuk penolakan terhadap doktrin pemisahan kekuasaan.