BKBH PERSIS Sikapi Putusan Mahkamah Konstitusi dan DPR RI Tentang Aturan Pilkada

Yudi Wildan Latief KepalaBadan Konsultasi dan Bantuan Hukum (BKBH) Pimpinan Pusat Persatuan Islam. (Foto: Istimewa).

Hal demikian dapat memperbesar kemungkinan terjadinya permasalahan hukum, karena pelaksanaan kewenangan MK untuk membentuk/membuat norma dalam putusannya tersebut tidak diatur di dalam berbagai peraturan perundang-undangan ataupun konstitusi. Dan permasalahan tersebut telah dicerminkan pada dinamika hari ini di mana DPR RI cenderung mengabaikan putusan MK nomor 70/PUU-XXII/2024 dan menafsirkan ulang putusan MK nomor 60/PUU-XXII/2024 serta mendudukkannya sebagai sumber hukum dalam mengambil keputusan untuk membentuk dan mensahkan RUU Pilkada yang baru.

Pergeseran peran MK dari sekedar Negatif Legislator menjadi memiliki peran Positif Legislator dapat kita temukan sejak putusan MK nomor No.48/PUU-IX/2011 Dalam pertimbangannya MK berpendapat ketentuan Pasal 57 ayat (2a) Undang-Undang No. 8 Tahun 2011 bertentangan dengan tujuan pembentukan Mahkamah Konstitusi yakni untuk menegakkan hukum dan keadilan khususnya dalam rangka menegakkan konstitusionalitas berdasarkan UUD 1945. Adanya pasal tersebut berakibat Mahkamah Konstitusi terhalang untuk:

Baca Juga:  Wajah Purwakarta dan Visi Pembangunan Semu

1. Menguji konstitusionalitas norma;

2. Mengisi kekosongan hukum sebagai akibat putusan MK yang menyatakan suatu norma bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Sementara itu proses pembentukan undang-undang membutuhkan waktu yang cukup lama, sehingga tidak dapat segera mengisi kekosongan hukum tersebut;

3. Melaksanakan kewajiban hakim konstitusi untuk menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.

Dalam Jurnal Demokrasi dan Ketahanan Nasional Volume 1, Nomor 1, Tahun 2022 Adena Fitri Puspita Sari dan Purwono Sungkono Raharjo menuliskan bahwa berdasarkan pada putusan MK tersebut, maka dalam keadaan tertentu Mahkamah Konstitusi dapat menjadi Positif Legislator yang didasari oleh beberapa indikator, yaitu: pemerataan dan pelayanan masyarakat, urgensi, dan mengisi kekosongan hukum rechtvacuum agar tidak terjadi kekacauan hukum dalam masyarakat. Selain syarat memenuhi indikator tersebut, Mahkamah Konstitusi tidak dapat menjalankan fungsinya sebagai Positif Legislator, melainkan hanya sebagai Negatif Legislator. Hal ini bertujuan untuk mencapai keseimbangan antara fungsi legislatif dan yudikatif dalam sistem checks and balances.

Baca Juga:  Perempuan dan Perluasan Cara Pandang

Dalam putusan MK nomor 60/PUU-XXII/2024 jika kita baca dan telaah pertimbangan MK persoalan ambang batas untuk mencalonkan Calon Gubernur dan Wakil Gubernur serta mencalonkan Calon Bupati dan Wakil Bupati dan mencalonkan Calon Walikota dan Wakil Walikota, hanya di dasarkan pada pertimbangan “menjamin hak konstitusional partai politik peserta pemilu yang telah memeroleh suara sah dalam pemilu serta dalam upaya menghormati suara rakyat dalam pemilu” (putusan poin 3.13 halaman 73) indikator lain seperti adanya Urgensi atau kekosongan hukum rechtvacuum sama sekali tidak dijadikan dasar pertimbangan MK, padahal dalam putusan tersebut MK telah berperan sebagai Positif Legislator.

Baca Juga:  Kontroversi Film Animasi Ligthyear : Seberapa Jauh Pengaruh Agenda LGBT Terhadap Agenda Publik?

Dalam kondisi seperti ini maka kita dituntut untuk membaca secara jernih dan objektif bahwa pada tingkat level kekuasaan tertinggi lembaga-lembaga kekuasaan memiliki Political Will nya masing-masing, dan ini merupakan dinamika yang positif dalam perkembangan ketatanegaraan.***

Tulisan ini sepenuhnya tanggung jawab penulis

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News