Hari Pajak Nasional: Pendapatan Pajak Naik Dalam 3 Tahun, Indikator Kemajuan Atau Kumunduran?

Pajak
Ilustrasi pajak. (Foto: Liputan6.com).

Penerimaan pajak semester pertama tahun 2024 mengalami penurunan Rp 893,8 triliun hanya 44,9% dari target Rp 1.989 triliun. Namun demikian dalam 3 tahun terakhir penerimaan pajak naik, pada 2021 mencapai Rp 1.278,6 triliun, pada 2022 mencapai Rp 1.716,8 triliun dan 2023 mencapai Rp  1869,2 triliun.

Negara dengan sistem Sekularisme–Kapitalisme mendefinisikan pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasar Undang–Undang dengan tidak mendapat imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara dan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Jenis pajaknya sendiri beragam, berbagai sektor barang atau jasa dikenai beban pajak.

Hal ini menyiratkan bahwa negara berlepas tangan dari mengurus rakyat, menyerahkan dengan paksa pembiayaan negara dan kemakmuran rakyat menjadi kewajiban terutang rakyat melalui pajak.

Baca Juga:  Mengarus-Utamakan Perempuan Ciamis Pada Pemilu 2024

Kebijakan pajak ini dirasa membebani rakyat. Disaat rakyat kecil digalakkan untuk taat pajak, negara memberikan kebijakan kepada segelintir rakyat “pengusaha” berupa tax amnesty (pengampunan pajak) yaitu penghapusan denda keterlambatan pembayaran pajak bagi masyarakat Indonesia, insentif pajak berupa bantuan yang diberikan pemerintah kepada wajib pajak dan kebijakan lainnya yang meringankan. Negara juga dapat mengubah aturan terkait pajak seperti yang dilakukan Kementrian Keuangan dengan memberikan fasilitas perpajakan dan kepabeanan di Ibu Kota Negara (IKN) .

Berbeda dengan sistem Islam, negara menjamin kesejahteraan dan keadilan sosial rakyatnya. Dalam hal ini negara bertindak sebagai ra’in atau pengurus rakyat. Pembiayaan negara diambil dari Baitul Maal, yang bersumber dari kepemilikan negara, kepemilikan umum dan zakat.

Baca Juga:  Menciptakan Surga Dunia Bagi Difabel Melalui Kota dan Pemukiman Berkelanjutan

Pengambilan pungutan (dharibah) bersifat temporer atau penerimaan tidak tetap, pemungutan diambil hanya apabila Baitul Maal kosong, dalam keadaan genting (seperti jihad, bencana alam, ketiadaan infrastruktur ke pelosok) yang apabila tidak dipenuhi akan menimbulkan bahaya (dharar).

Objek pungutan pun terbatas, yaitu hanya kepada muslimin yang kelebihan harta, muslimin yang telah memenuhi kebutuhan primernya (sandang, pangan, papan) secara sempurna. Tidak dibebankan kepada rakyat di luar kemampuannya, tidak memaksa dan mengutangi rakyat dengan kewajiban pajak.

Sebagaimana Umar Bin Khatab sampaikan dalam buku Fiqih Ekonomi Umar, “Jika aku menghadapi diri perkaraku apa yang telah aku lewati, niscaya aku akan mengambil kelebihan harta orang-orang kaya, lalu aku akan membagikannya kepada kaum muhajirin yang miskin.”.

Baca Juga:  Prostitusi Online dan Pornografi Anak dalam Sistem Sekularisme-Kapitalisme

Perkataan Umar tersebut mencerminkan pribadi seorang pemimpin negara yang menghendaki keadilan sosial dan kesejahteraan rakyatnya. Negara bertanggung jawab penuh atas kehidupan rakyatnya, menjamin kelangsungan hidup juga kemaslahatan rakyatnya.

Begitulah Islam mengatur kehidupan, menjadikan taqwanullah sebagai landasan dan ridha Allah swr sebagai tujuan. Hidup yang sebentar ini Islam petakan dengan aturan sempurna dari Sang Khaliq yang menjamin keteraturan, keadilan, keberkahan dan keselamatan hidup dunia akhirat. Wallahu a’lam bishawab. (*)

Oleh : Ressy Nisia

*) Pemerhati Pendidikan dan Keluarga

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News