Investasi Bodong dalam Dunia Pendidikan

Rijaluddin
Rijaluddin. (foto: istimewa)

Sebagai perbandingan, biaya untuk membuka usaha kecil hingga menengah di Indonesia rata-rata berkisar antara 50 juta hingga 100 juta rupiah. Dengan modal tersebut, seseorang bisa memulai usaha di berbagai bidang seperti kuliner, fashion, atau jasa.

Modal ini tidak hanya lebih rendah dari biaya pendidikan, tetapi juga memberikan hasil yang lebih menjanjikan jika dikelola dengan baik.
Hal ini menandakan bahwa biaya pendidikan yang mencapai ratusan juta rupiah jauh lebih besar daripada modal yang dibutuhkan untuk membuka usaha. Ironisnya, banyak lulusan yang berjuang mencari pekerjaan dan akhirnya memilih untuk membuka usaha sendiri. Mereka harus memulai dari nol lagi dengan biaya yang jauh lebih rendah dibandingkan investasi pendidikan yang telah mereka keluarkan.

Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2023, jumlah ketersediaan sekolah meningkat setiap tahunnya dari tingkat SD hingga SMA/SMK, di mana pihak swasta lebih berperan aktif dalam menyediakan tempat pembelajaran dibandingkan negara. Namun, peningkatan jumlah ketersediaan sekolah belum mampu menjawab kebutuhan masyarakat.

Temuan dari penelitian Programme for International Student Assessment (PISA) 2022 menyatakan kemampuan membaca pelajar Indonesia tergolong rendah di dunia dengan skor sebesar 359 poin. Artinya, secara umum pelajar Indonesia hanya bisa memahami arti harfiah dari kalimat atau paragraf pendek saja.
Parahnya lagi, riset International IQ Test 2024 menempatkan Indonesia di urutan ke-95 dari 115 negara di dunia mengenai kecerdasan intelektual (IQ) dan menjadi yang terendah di Asia Tenggara. Jadi, apakah pendidikan di Indonesia benar-benar mampu menjawab kebutuhan hidup masyarakat?

Baca Juga:  Menghidupkan Kemanusiaan dan Toleransi Ala Buya Syafii

Selain persoalan di atas, kemerataan lembaga pendidikan antara desa dan kota juga menjadi salah satu persoalan yang tak kalah pelik. Data Badan Pusat Statistik BPS 2023 menunjukkan bahwa ketimpangan pendidikan antar wilayah perdesaan dan perkotaan sangat nyata, dengan mayoritas penduduk perdesaan hanya menamatkan jenjang pendidikan sampai SD sebesar 31,13%.

Dengan demikian, pendekatan berbasis data desa presisi dapat membantu mengatasi kesenjangan pendidikan antara daerah perkotaan dan pedesaan. Dengan memanfaatkan data desa presisi, kita dapat mengidentifikasi keterampilan yang dibutuhkan oleh masyarakat desa dan menyusun program pendidikan yang relevan.
Meminjam bahasa Sofyan Sjaf dalam tulisannya bertajuk “Lampu Kuning Indonesia dari Desa” pada Kompas edisi Juli 2023, menjelaskan bahwa visi big data adalah kenicayaan untuk membangun bangsa ini dengan presisi sehingga terhindar dari kesalahan membaca situsi dan kondisi. Jika pemerintah memiliki data yang akurat dan presisi, maka hal ini akan menjawab kebutuhan masyarakat dan memangkas kesenjangan antar wilayah.

Baca Juga:  Tampang Pelaku Arisan Fiktif di Karawang, Korban Capai 50 Orang dan Kerugian hingga Rp1,9 Miliar

Berbagai persoalan yang dihadapi dunia pendidikan di Indonesia, menunjukan bahwa bangsa Indonesia belum mendapatkan kiblat pembelajaran yang menunjang kebutuhan anak bangsa. Ada istilah yang sering didengar yaitu “ganti pemerintah, ganti kurikulum,” seolah-olah pergantian kurikulum hanya menjadi kebutuhan setiap rezim yang berkuasa, bukan menjadi kebutuhan anak bangsa. Hingga saat ini, sudah 10 kali berganti kurikulum yang kita terapkan, yaitu masa kemerdekaan orde lama sebanyak 2 kali, orde baru 4 kali, dan masa era reformasi sebanyak 4 kali.

Meski pemerintah sering mengklaim komitmen terhadap peningkatan kualitas SDM, kurikulum yang ada tampaknya belum menjawab kebutuhan anak bangsa. Perubahan kebijakan yang sering terjadi memperkuat kesan bahwa pendidikan bukan prioritas utama. Hal ini menimbulkan pertanyaan serius tentang komitmen pemerintah dalam menyiapkan generasi yang kompeten dalam menyongsong Indonesia Emas 2045, terlebih lagi bersaing di kancah global.
Seharusnya kita perlu mempertanyakan apakah kurikulum yang kita anut di bangku sekolah saat ini masih diperlukan. Atau, apakah sekolah hanya menjadi ladang bisnis para konglomerat yang pada akhirnya mencetak karyawan untuk kepentingan oligarki, karna kalau dibedah lebih dalam partisipasi pembangun sekolah masih dikuasain swasta menurut data Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Setjen Pusdatin) 2023.

Baca Juga:  Waduh! Puluhan Perawat Ditipu Bidan di Tasikmalaya, Rugi hingga Rp20 Miliar

Kalau begitu, perlu kita apresiasi sejauh ini peran pemerintah yang berhasil mendorong para konglomerat berpartisipasi membangun sekolah swasta untuk meraup keuntungan sebesar-besarnya tanpa memikirkan kualitas anak bangsa. Iming-iming bonus demografi yang sering dilontarkan pemerintah yaitu menuju Indonesia emas tahun 2045 menjadi bangsa Indonesia yang cemas.

Dari segi pekerjaan yang didapatkan oleh para lulusan dari bangku pendidikan, berdasarkan data BPS 2024, pekerjaan di Indonesia didominasi oleh lulusan sekolah dasar (SD) dengan jumlah 51,95 juta pekerja. Disisi lain, tingkat pengangguran di perkotaan lebih tinggi dibandingkan di perdesaan dengan persentase 5,89% dan 3,37%. Mirisnya, berdasarkan data International Monetary Fund (IMF) 2024, proyeksi tingkat pengangguran Indonesia tahun ini bisa mencapai 5,2%, tertinggi di Asia Tenggara. Lagi-lagi, pendidikan yang ditawarkan belum mampu mendongkrak kesejahteraan masyarakat di Indonesia dari segi lapangan pekerjaan.

Dengan segala problematika yang kita temukan, sudah saatnya kita berfikir ulang tentang kurikulum pendidikan yang perlu kita adopsi. Pemerintah dan masyarakat perlu berkolaborasi untuk menemukan kurikulum yang dibutuhkan agar bisa bersaing dikanca global. (*)

Oleh : Rijaluddin, S.E., M.Si
*) Peneliti Lab Data Desa Presisi

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News