2. Populasi yang mendapatkan akses yang nyaman (jarak 0,5 km) pada transportasi publik dan tujuan Penduduk terlayani transportasi umum.
Menurut Suryotrisongko, dalam bentuk kebutuhan pelayanan publik, penyandang disabilitas memiliki hak yang sama untuk menggunakan fasilitas publik yang memadai dan membantu mereka dalam menjalankan segala aktivitasnya. Beberapa ide dalam penyusunan standar fasilitas transportasi umum menurut Sitorus, B adalah dengan menerapkan konsep safety, accessibility, reliability dan affordability.
Safety berupa keamanan dalam memakai jasa transportasi, contoh penumpang berkursi roda atau tongkat dihindari agar tidak mengalami cedera atau bahaya. Accessibility adalah kemudahan akses pemakaian jasa transportasi, dengan memperhatikan faktor fisik, sensorik dan mental pengguna jasa tranportasi. Reliability adalah keandalan perancangan fasilitas, contoh moda transportasi yang tepat waktu dan tersedia. Affordability adalah mudah dijangkau secara ekonomis oleh pengguna moda transportasi.
Kemudahan dalam menggunakan sarana transportasi jalan bagi difabel agar merasakan surga dunia, dapat dilakukan melalui: a. Pembenahan sarana berupa kemudahan ke pintu akses, ada petunjuk tempat khusus bagi difabel agar mudah dilihat dan dibaca, serta kemudahan manuver kursi roda agar dapat masuk ke moda transportasi, b. Pembenahan petugas berupa mendahulukan difabel, penyediaan informasi yang jelas tentang pengggunaan transportasi, dan keahlian petugas untuk memudahkan mobilitas difabel, c. Pembenahan prasarana berupa ketinggian pintu masuk kendaraan melalui ram yang landai atau pegangan tangga, serta petunjuk khusus bagi toilet difabel.
3. Korban meninggal, hilang, dan terkena dampak bencana, Tujuan 11.5.2.(a) Kerugian ekonomi langsung akibat bencana relatif terhadap PDB, dan Tujuan Persentase pemerintah Daerah yang mengadopsi dan menerapkan strategi penanggulangan bencana daerah yang selaras dengan rencana/strategi nasional penanggulangan bencana
Dalam Undang-Undang RI Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, difabel diberikan prioritas berupa penyelamatan, evakuasi, pengamanan, pelayanan kesehatan, dan psikososial (Pasal 55 ayat 1).
Namun penjelasan mengenai penanganan dalam bencana, seperti bagaimana menolong mereka tanpa melukainya masih belum ada. Masih dalam Probosiwi (2013), perbedaan perlakuan terhadap difabel dalam menghadapi bencana, menyebabkan tingginya kerugian dan korban, baik itu luka maupun kematian. Padahal dalam tujuan ini berupaya untuk menurunkan jumlah korban difabel pada saat atau sesudah bencana.
Upaya pengurangan risiko jumlah korban bencana difabel dapat menggunakan media yang aksesibel bagi penyandang disabilitas sesuai disabilitas yang dialami. Selain itu ada pendidikan inklusi bagi peserta didik di Sekolah Luar Biasa (SLB) melalui penyuluhan, sosialisasi, dan praktek simulasi evakuasi bencana, upaya lebih lanjut melalui memasukkan manajemen risiko bencana ke dalam kurikulum sekolah baik sekolah biasa maupun sekolah luar biasa.
Pelibatan keluarga dalam upaya evakuasi atau penyelamatan difabel disesuaikan dengan hambatan yang dialaminya, termasuk penyediaan fasilitas fisik dan non fisik. Dan pelatihan penyelamatan difabel ini haruslah diikuti oleh pihak keluarga. Basis data yang akurat dan up to date penting sebagai dasar assessment kebutuhan difabel, agar mereka merasakan “surga dunia” karena merasa dianggap penting dan tidak ada diskriminasi.