Studi terkait feminisme tidak terlepas dari perjalanan panjang situasi politik di Amerika Serikat. Tiga gelombang gerakan feminisme yang terekam menjadi titik awal kebangkitan suara perempuan di kancah politik. Gelombang pertama menitikberatkan fokus pada upaya penghapusan diskriminasi pada perempuan.
Gelombang kedua, Millet (1990) mengenalkan istilah Women Liberation Movements atau gerakan feminisme radikal kultural/libertanian, yang pada saat itu adalah waktu untuk membebaskan wanita dari keterkekangan segala aspek. Sedangkan gelombang ketiga, pemahaman umum atas respon gerakan feminisme dimaknai bahwa perempuan adalah sebuah identitas politik yang tidak dapat dipisahkan dari komponen penting lainnya.
Kaum femiminisme politik sebenarnya memusatkan perhatian terhadap perempuan dalam suatu wilayah pasar kerja dan properti, sehingga mematahkan suatu pendapat yang menempatkan perempuan hanya mampu berada di wilayah kerja domestik. Olsen misalnya menjelaskan bahwa ada sebuah dimensi stratifikasi sosial yang menjadi latar belakang perempuan beraktifitas dalam politik.
Olsen membagi menjadi enam lapisan perempuan yakni ada yang menjadi pemimpin politik, aktivis politik, komunikator (orang yang menerima dan menyampaikan gagasan, sikap, dan informasi lainnya), masyarakat biasa, kelompok marjinal, dan kelompok yang terisolasi.
Secara filosofi, aksi-aksi yang dapat dilakukan perempuan adalah adanya pergantian di wilayah politik konvensional serta aksi yang yang mencoba dari dalam badan politik seperti aturan perundang-undangan serta administrasi pemerintah. Pada dasarnya penetrasi intensif perlu dilakukan pemerintah baik area konvensional maupun pada badan politik.