Politik Dagang Bubur dan Bandit Demokrasi dalam Pilkada Purwakarta

Ilustrasi jebakan politik uang (Foto The Hans India)
Ilustrasi jebakan praktik kotor politik (Foto: The Hans India)

Penulis: Agus Yasin (Aktivis Sosial Politik Purwakarta)

JABARNEWS | OPINI – Dalam konteks Pilkada Purwakarta, istilah “politik dagang bubur” dan “bandit demokrasi” dapat digunakan untuk menggambarkan berbagai praktik politik yang tidak sehat. Yang mungkin terjadi selama proses, dari mulai tahap bermunculan bakal calon pemimpin daerah, penjaringan oleh Partai Politik (Parpol) sampai menjelang pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada).

Bagaikan penyakit kronis yang menggerogoti demokrasi, praktik “politik dagang bubur” dan “bandit demokrasi” ini juga mencederai proses Pilkada yang sakral dalam upaya menciptakan pemimpin daerah yang adil dan berintegritas.

Meskipun sulit dihindari dan terdeteksi secara spesifik, praktik-praktik ini seperti benalu yang melekat di tubuh demokrasi lokal. Dampaknya tidak hanya merusak kesakralan Pilkada, termasuk Pilkada Purwakarta, tapi juga melemahkan kepercayaan masyarakat terhadap sistem demokrasi.

Baca Juga:  Jelang Pemilu 2024, Pemkot Bandung Beri Pendidikan Politik Warga

Politik Dagang Bubur

“Politik dagang bubur” merepresentasikan praktik politik transaksional, yang tentu saja merupakan praktik politik yang tidak sehat. Di mana para pemimpin atau pejabat politik, termasuk para kandidat, mengutamakan keuntungan pribadi atau kelompok daripada kepentingan masyarakat luas.

Bak dagang bubur, mereka menjajakan tawarannya kepada para “pemilih”, mengiming-imingi keuntungan pribadi atau kelompok.

Praktik ini tak hanya merusak nilai sakral demokrasi, tapi juga melahirkan rasa apatis dan ketidakpercayaan masyarakat terhadap proses politik.

Beberapa ciri dari praktik “Politik dagang bubur” adalah:

  1. Transaksi Jabatan, kandidat atau tim sukses yang menawarkan atau meminta dukungan politik dengan imbalan tertentu, seperti janji proyek atau posisi jabatan setelah terpilih.
  2. Pemberian Uang atau Barang, untuk membeli suara yang merusak prinsip pemilu yang adil dan bebas.
  3. Negosiasi Politik Kotor, kesepakatan di belakang layar antara kandidat dengan tokoh berpengaruh atau kelompok tertentu untuk mendapatkan dukungan, sering kali dibarengi dengan imbalan yang tidak transparan.
Baca Juga:  Ema Sunarna Harap Partisipasi Pemilih Pemilu 2024 di Kota Bandung Meningkat

Bandit Demokrasi

“Bandit demokrasi” adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan aktor-aktor politik yang memanfaatkan celah dalam sistem demokrasi untuk tujuan-tujuan jahat atau pribadi, seringkali melalui cara-cara yang tidak etis atau ilegal.

Mereka bertindak seperti bandit, merampok sumber daya publik dan mengabaikan prinsip-prinsip demokrasi yang seharusnya dijaga.

Keberadaan “Bandit demokrasi” ini mencemari proses Pilkada, menciptakan atmosfer kecurigaan dan menghambat terciptanya pemimpin yang adil dan berintegritas.

Baca Juga:  Kami Mohon Maaf, Kasus Korupsi Tidak Bisa Dilakukan 'Simsalabim'

Beberapa ciri dari “Bandit demokrasi” adalah:

  1. Manipulasi Proses Pemilu, yaitu pelibatan dalam praktik curang seperti penggelembungan suara, penggunaan data pemilih palsu, atau intimidasi terhadap pemilih dan petugas pemilu.
  2. Penyalahgunaan Aparat dan Sumber Daya Negara, menggunakan dan melibatkan aparat atau sumber daya pemerintah untuk mendukung kampanye atau menekan lawan politik.
  3. Kontrol Media dan Informasi, yakni menguasai atau mempengaruhi media untuk menyebarkan propaganda atau menyensor kritik, sehingga informasi yang diterima publik menjadi tidak berimbang.
  4. Ancaman dan Intimidasi, upaya mengintimidasi atau mengancam calon, pemilih, atau tokoh masyarakat yang tidak mendukung mereka.