Dalam perspektif ekologi marxis, tegas Dr. Sofjan, perbedaan ekologi ekstrem itu menyebabkan terjadinya fenomena “jurang metabolis” (metabolic rift). Ditambah, Pemerintah menghendaki pola tanam yang serupa antara yang dipraktekkan di Pulau Jawa dan di wilayah transmigrasi. Akibatnya, terjadi perubahan radikal pola tanam. Pola tanam awal yang bersifat ekstensif (berladang secara berpindah-pindah) diganti dengan pola tanam intensif (sistem pengairan pasang-surut). Sementara, kondisi ekosistem di daerah transmigrasi diliputi dengan banyak keterbatasan.
Keterbatasan-keterbatasan tersebut perlu dilampaui dengan sejumlah pra-syarat. Sebut saja ; teknologi dan bahan baku pendukung (pupuk, kapur dan lainya). Disitulah titik masuk kuasa modal (kapital). Hanya pihak yang berkelebihan modal-lah yang dapat memiliki teknologi dan bahan baku pendukung. Sementara, pihak yang nir-modal harus rela dijebak dalam pola kapitalistik yang eksploitatif. Dalam hal ini, agar lahan garapannya bisa berproduksi, para transmigran yang nir-modal harus rela menjadi tenaga kerja upahan. Pun, mereka harus rela menyetor hasil produksi untuk mengganti hutang pinjaman pupuk dan kapur dari para kapitalis lokal di lingkup wilayah transmigrasi.
Fenomena itu terasa menggiriskan sekali. Apalagi jika menggunakan alat ukur harapan (hope). Bukankah motivasi terbesar seseorang yang terlibat agenda transmigrasi adalah perbaikan hidup? Faktanya : tidak (mesti) demikian.
Buku ini perlu anda baca. Sebagai tambahan referensi. Tidak ketinggalan, sebagai pemantik (trigger) kritisisme ; bahwa (kebijakan) pemerintah terbuka untuk salah dan/atau gagal (failed).***