Ekskalasi ketegangan yang berujung pada serangan Russia kemarin baru berlangsung tiga bulan saja, sebelumnya suasana berjalan normal. Provokasi negara lain akan terjadinya perang dan retorika Presiden Ukraina yang terkesan menantang, menjadikan perang itu nyata terjadi.
Saat pertama kali tiba di Ibukota Kyiv, musim semi di bulan april 2017, saya berusaha mengenal budaya dan sosiologi masyarakat Ukraina, selain mencermati keadaan sosial ekonomi dan keamanan negara tersebut. Beberapa bulan kemudian, kami yang bertugas di KBRI Kyiv menyimpulkan bahwa status negara Zona kuning berbahaya bagi diplomat dan WNI yang ditetapkan Kemenlu RI agar dicabut, Ukraina aman, nyaman dan damai.
Sepanjang lebih dari empat tahun melaksanakan tugas diplomatik di Ukraina, memberi kesan yang dalam akan masyarakatnya yang ramah, sederhana dan cinta damai. Bahkan terhadap wilayah kedaulatannya yang di rampas pun, Ukraina tidak menggunakan kekuatan bersenjata untuk merebutnya. Yang Ukraina lakukan di dalam wilayahnya di timur adalah menjaga agar gerakan separatis tidak masuk lebih jauh ke dalam wilayah ukraina yang telah disepakati dalam perjanjian Minks yang disepakti para pihak berkonflik termasuk Russia.
Dalam kurun waktu 2017-2021, situasi keamanan dan stabilitas ekonomi dan politiknya cukup kondusif, tidak ada keraguan dan kekhawatiran hidup di negara tersebut. Bahkan saat terjadi tragedy tabrakan kapal perang Russia vs Ukraina di teluk Kerch akhir tahun 2018, Presiden Petro Porosehnko memberlakukan State of Emergency atau keadaan darurat perang selama sebulan penuh, bukanlah hal yang menakutkan.
Saya bersama para kepala perwakilan negara-negara sahabat lainnya beberapa kali mengunjungi wilayah perbatasan konflik, suasana yang biasa saja. Justru kekhawatiran akan meletusnya perang terjadi setelah dalam tiga bulan terakhir ini Amerika serikat dan NATO me-narasikan akan terjadinya perang Russia-Ukraina, tanpa kehadiran mereka di wilayah Ukraina menghadapi serangan Rusia saat ini.