JABARNEWS – Kata “pembangunan” (development) sudah begitu akrab di telinga kita. Hanya saja, seringkali “pembangunan” dikerdilkan menjadi sekadar urusan fisik atau materiil semata, seperti proyek infrastruktur jalan, bangunan kantor pemerintahan baru, dan sejenisnya yang terlihat kontras oleh mata publik.
Padahal, hakikat pembangunan melampaui (beyond) hal tersebut. Jauh lebih substantif, seperti ditegaskan Soedjatmoko (2000), pembangunan merujuk pada peningkatan kapasitas manusia. Dengan kata lain, pembangunan lekat dengan identitas kesejahteraan rakyat.
Sejalan dengan praksis otonomi daerah, bias tafsir pembangunan seperti demikian umum ditemui di banyak Kabupaten/Kota di Indonesia. Tanpa kecuali, Kabupaten Purwakarta. Dalam perspektif teori habitus Bordieu (2020), jejak bias tafsir pembangunan di Kabupaten Purwakarta dapat dilacak dari operasi kebijakan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Purwakarta.
‘Propaganda’ pembangunan yang serba-fisik digulirkan sekaligus diamplifikasi luar biasa : dari mulai infra-struktur jalan, tematik bangunan kantor pemerintah “berkarakter”, landmark daerah, dan banyak lagi.
Di satu sisi, kita perlu mengapresiasi langkah-langkah pembangunan yang telah dilakonkan Pemkab Purwakarta. Tetapi, di waktu yang sama, tetap perlu ada tanda tanya kritis yang perlu dimajukan. Yaitu : bagaimana capaian kesejahteraan rakyat yang sesungguhnya adalah substansi dari pembangunan itu sendiri?