JABAR NEWS | CIREBON – Maraknya kasus pelayanan kesehatan di Rumah Sakit (RS) yang lebih mengedepankan orientasi bisnis bukan pelayanan yang manusiawi terhadap pasiennya hingga kini masih terus terjadi. Sebab sampai saat ini belum ada standar operasional pelayanan RS khususnya RS swasta baik di level nasional.
Ironis, cara pelayanan RS khususnya RS swasta masih mengedepankan orientasi bisnis dengan meminta uang muka kepada keluarga pasien.
Hal ini dikatakan Asisten I Pemkab Cirebon Beni Sugriarsa dalam Dialog Publik Kepatuhan Faskes dan RS mitra BPJS Kesehatan yang digelar oleh MP BPJS Korcab Cirebon l, di Hotel Sutan Raja, Cirebon (12/10/2017).
“Fasilitas pelayanan kesehatan, baik pemerintah maupun swasta dilarang menolak pasien dan/atau meminta uang muka,” katanya.
Beni menuturkan, RS baik mitra BPJS Kesehatan maupun bukan harus lebih mengutamakan pelayanan yang aman, bermutu, anti diskriminasi, dan efektif sesuai dengan standar pelayanan yang digariskan peraturan perundang-undangan.
“Sebab jika ini dijalankan secara baik akan berdampak semakin meningkatnya kepercayaan dan kepuasan masyarakat dalam mendapatkan pelayanan kesehatan yang berkualitas,” tuturnya.
Beni menegaskan dalam Pasal 29 Ayat 1 huruf (F) UU Nomor 44 Tahun 2009, setiap rumah sakit mempunyai kewajiban melaksanakan fungsi sosial. Antara lain dengan memberikan fasilitas pelayanan pasien tidak mampu/miskin, pelayanan gawat darurat tanpa uang muka, ambulan gratis, pelayanan korban bencana dan kejadian luar biasa, atau bakti sosial bagi misi kemanusiaan.
Sementara itu, Hery Susanto Koordinator Nasional Masyarakat Peduli Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (Kornas MP BPJS) menyampaikan bahwa, untuj menghindari terus berulangnya kasus penanganan RS yang sering mengabaikan tindakan pelayanan kesehatan terhadap pasien, maka pihaknya mendesak pemerintah dari pusat dan daerah segera menyusun standar pelayanan RS swasta secara nasional.
“Hal ini penting karena sekarang ini belum ada regulasi teknis itu. Tiap RS baik mitra BPJS kesehatan maupun bukan hanya mengacu standar pelayanannya masing-masing,” tegas Hery.
Regulasi tersebut harus menjelaskan ketentuan prosedur dan sanksi bagi RS yang tidak menaati aturan tersebut.
Setelah mengkaji secara bersama, pihaknya menilai BPJS Kesehatan selama ini telah membuat pola fait accompli (ketentuan yang harus diterima) bagi publik luas, sebagai badan hukum publik yang urusi JKN.
BPJS Kesehatan menjadi sentral poin dalam mengatur pola hubungan antar lembaga yang menjadi mitranya. Semua seolah terjebak dalam mainstream yang dimainkan BPJS kesehatan. Apa selama ini BPJS Kesehatan telah memainkan format hubungan antar lembaga yang kondusif dan koordinatif antarstakeholder.
“Selama ini belum pernah dipertemukan secara terbuka antara masyarakat dari berbagai komponen dengan faskes/RS mitra BPJS,” ucap Hery.
Hery Susanto menambahkan, BPJS Kesehatan jangan eksklusif dan cenderung menjadi sumber konflik. Menjadi beban negara karena selalu defisit hingga minta kenaikan iuran dari masyarakat.
MP BPJS menilai bahwa dalam banyak kasus BPJS kesehatan sering tidak berpihak kepada masyarakat. Pihaknya lebih cenderung berpihak kepada faskes dan RS sebagai sesama profesinya. Mereka lebih takut kehilangan hubungan kemitraan ketimbang dengan masyarakat.
“Ini sebuah inlndikasi kongkalikong yang cenderung mendekati nyata. Uang Rakyat disikat, uang negara diembat. BPJS kesehatan sumber konflik JKN makin mendekati realitas,” ungkapnya
Ditempat yang sama, Sigit Priyohutomo selaku Deputi III Kemenko PMK RI sekaligus Ketua Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) RI mengatakan kegiatan ini guna mengakomodir permasalahan terkait program JKN di wilayah Cirebon sekaligus menyelesaikan masalah yang akan muncul di kemudian hari.
Jika ada faskes dan RS yang tidak patuh melaksanakan peran dan fungsi dalam pelayanan kesehatan maka perlu direkomendasikan untuk dicabut ijinnya bahkan harus ditutup.
Saat ini BPJS Kesehatan sudah mempunyai 180 juta peserta. Diantaranya terdapat 92 juta orang sebagai peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI). Mereka disubsidi sebesar Rp 23 ribu/bulan selama setahun. Untuk itu pemerintah pusat membayarkan Rp 25.4 trilyun untuk PBI BPJS kesehatan.
Sigit mengatakan pemerintah daerah harus merekrut warganya tidak hanya menjadi peserta PBI tapi juga menjadi peserta BPJS secara mandiri. DJSN RI ke depannya akan menjadi mitra kerja DPR RI.
“RS yang menjadi mitra BPJS kesehatan harus RS yang berkualitas dan memenuhi syarat ketentuan menjadi mitra BPJS. Kedepannya, diharapkan tidak ada lagi faskes dan RS yang diskriminatif terhadap peserta BPJS,” jelasnya.
DJSN RI akan mengusulkan penolakan dan memangkas anggaran BPJS Kesehatan jika ternyata dilapangan tidak ada perbaikan pelayanan.
“Momen ini diharapkan menjadi masukan bagi pemerintah untuk perbaikan kinerja pelayanan BPJS kesehatan dan seluruh faskes maupun RS mitra BPJS,” tambahnya. (Red)
Jabar News | Berita Jawa Barat