Berawal dari Kompetisi Debat, Mahasiswa Berhasil Bawa Angin Segar bagi Demokrasi Indonesia

Ilustrasi angin segar bagi demokrasi Indonesia (Foto: Freepik)
Ilustrasi angin segar bagi demokrasi Indonesia (Foto: Freepik)

Enika menilai bahwa Pasal 222 UU Pemilu tidak hanya bertentangan dengan hak politik dan kedaulatan rakyat, tetapi juga melanggar prinsip moralitas, rasionalitas, dan menciptakan ketidakadilan yang intolerable.

Ia pun menjelaskan Pasal 222 UU Pemilu melanggar Pasal 22E ayat (1) UUD 1945, karena bertentangan dengan asas pemilu periodik. Asas ini menuntut setiap Pemilu berlangsung secara independen dan berdasarkan preferensi politik pemilih pada periode yang bersangkutan.

Baca Juga:  Dana BOS Madrasah Swasta Senilai Rp4 Triliun Segera Cair, Kemenag Terapkan Kebijakan Baru

Pemohon juga menyoroti bahwa presidential threshold melanggar prinsip “one man, one vote, one value” karena memberi bobot yang berbeda pada suara pemilih antar periode, sehingga merugikan sebagian besar pemilih.

Selain itu, Enika pun mengungkapkan bahwa sistem presidential threshold telah membatasi pilihan pasangan calon presiden dan wakil presiden dalam Pemilu, sehingga tidak bisa mengakomodir preferensi pemilih.

Baca Juga:  Hewan Kurban yang Terjangkit PMK Tidak Sah, Tapi Dianggap Sedekah

“Kami berharap ada paslon perempuan yang membawa isu-isu domestik ke ranah nasional. Dengan adanya presidential threshold 20 persen, harapan kami sulit terwujud. Peserta pemilu akan itu-itu saja,” ungkapnya.

Baca Juga:  MPR Sebut Parliamentary Threshold dan Presidential Threshold Perlu Dikoreksi, Hidayat Nur Wahid Beberkan Hal Ini

Terkait waktu pengajuan yang dilakukan pasca-Pilpres 2024, Enika menegaskan bahwa hal ini merupakan strategi agar MK dapat membuat keputusan tanpa tekanan politik yang berlebihan.

“Perjuangan kami adalah perjuangan akademik, perjuangan advokasi konstitusional. Kami ingin kajian yang dilakukan MK tidak mendapat pengaruh buruk secara politik melainkan benar kajian akademik dan substansi hukum,” jelasnya.