JABAR NEWS | KOTA CIREBON – Tahun ini BPJS kesehatan kembali terlilit defisit keuangan. Pada 2014, defisit BPJS Kesehatan mencapai Rp. 3,3 triliun. Angka tersebut meningkat menjadi Rp. 5,7 triliun pada tahun 2015, Rp. 9,7 triliun pada tahun 2016.
Dan tahun 2017 ini BPJS Kesehatan kembali alami defisit sebesar Rp. 9 triliun. Defisit keuangan ini ditandai adanya ketidakseimbangan antara income dan outcome yang dialami BPJS Kesehatan.
Padahal di tahun 2016 DPR RI telah menyetujui subsidi dana Penyertaan Modal Negara (PMN) sebesar Rp 6.5 trilliun. Subsidi ini untuk membantu defisit BPJS kesehatan, dengan tekanan bahwa support dana PMN dimaksud adalah yang terakhir.
“Setidaknya ada 6 faktor utama hingga BPJS Kesehatan terus alami berlanjutnya defisit dari tahun ke tahun,” kata Koordinator Nasional Masyarakat Peduli Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (KORNAS MP BPJS) Heri Susanto M,Si ketika ditemui di Kota Cirebon, Kamis (21/09/2017).
Heri menuturkan keenam faktor tersebut yaitu yang pertama, pemerintah memberikan subsidi Peserta Bantuan Iuran (PBI) BPJS kesehatan terlalu over dosis dan banyak yang tidak tepat sasaran.
Data warga miskin versi Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2017 sebesar 27.76 juta orang. Namun, pemerintah justru mensubsidi peserta PBI hingga 98 juta orang untuk kelas III sebesar Rp. 23 ribu/orang/bulan selama satu tahun.
“Lebih baik jumlah peserta subsidi nya di minimalisir dan tepat sasaran. Kelebihan biaya subsidinya diarahkan untuk menambah manfaat atau bisa juga untuk dana cadangan menutupi defisit keuangan. Di lapangan pun banyak temuan distribusi PBI yang tidak tepat sasaran. Sebab subsidi PBI yang tidak tepat sasaran ini dinilai turut memberikan sumbangan terjadinya kecemburuan sosial di tengah warga,” tuturnya.
Untuk faktor kedua kata Heri, pihak faskes dan RS mitra BPJS kesehatan seolah belum ikhlas menerima skema pembiayaan INA-CBGs dari BPJS Kesehatan yang dianggap tidak menguntungkan secara bisnis.
Banyak yang mencari alternatif/jalan pintas meraup fee dengan segala cara dari rakyat maupun BPJS kesehatan. Oleh karena itu jika mendorong solusinya dengan merubah pola INA CBG’s hingga menaikkan iuran BPJS kesehatan namun pelayanan kesehatan tidak ada perbaikan tentu akan mendapat penolakan masyarakat luas.
Ketiga, besarnya tunggakan iuran peserta BPJS kesehatan mandiri. Banyak warga yang membayar iuran BPJS kesehatan apabila mengalami sakit saja.
Jika sudah sembuh tidak lagi melanjutkan iurannya. Meski BPJS Kesehatan telah merekrut kader Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dari kalangan masyarakat, namun sayangnya banyak kader JKN yang urung bekerja di lapangan guna menagih iuran peserta.
“Mereka tidak tahan menerima banyak protes masyarakat yang mengeluhkan buruknya pelayanan kesehatan dari faskes dan RS mitra BPJS Kesehatan. Mereka seolah tidak mau menjadi “bumper” atas buruknya pelayanan mitra BPJS Kesehatan tersebut,” kata Heri.
Keempat, iuran BPJS kesehatan pemberi kerja unsur pemerintah daerah banyak yang menunggak iuran BPJS Kesehatan. Tercatat 6 (enam) Pemerintah Propinsi yang menunggak iuran BPJS Kesehatan yakni Aceh, Sumatera Utara, Riau, Banten, Papua dan Papua Barat. Ada 76 Pemda Kab/Kota yang menunggak iuran BPJS Kesehatan.
“Bahkan ada 5 Pemda Kab/Kota yang belum membayar iuran sama sekali dengan total piutang pemda tersebut mencapai Rp 240,5 milyar (2016). Selain itu, masih banyak BUMN dan BUMS yang belum menjadi peserta BPJS kesehatan,” ungkap Heri.
Sedangkan faktor kelima, dalam banyak kasus pelayanan faskes dan RS mitra BPJS Kesehatan yang dinilai buruk dan tidak taat terhadap asas kepatuhan prosedur BPJS Kesehatan.
Dalam konteks ini patut disayangkan justru Kemenkes dan BPJS kesehatan tidak tegas dalam menerapkan sanksi terhadap faskes dan RS yang melanggar asas kepatuhan sebagai mitra BPJS kesehatan.
Sebagai contoh adanya diskriminasi antara pasien umum dan BPJS Kesehatan, banyak ditolaknya pasien BPJS Kesehatan karena fasilitas kamar rawat inap RS penuh, kelangkaan obat bagi peserta BPJS, dan sebagainya dinilai turut mendorong ketidakpercayaan publik terhadap pelayanan BPJS kesehatan.
Heri menerangkan untuk yang keenam, menguatnya fenomena moral hazard yang mendera pengelolaan BPJS kesehatan.
Adanya temuan KPK atas 1 juta klaim fiktif dari mitra BPJS Kesehatan (faskes dan RS) turut membantu titik terang pentingnya pemberantasan korupsi di sektor tersebut.
Muncul pertanyaan, jika BPJS Kesehatan alami defisit keuangan, lalu siapa yang diuntungkan? Sebab sedikit sekali pihak faskes dan RS yang merugi menjadi mitra BPJS Kesehatan.
“Dengan demikian maka harus dilakukan perbaikan sistemik terhadap pengelolaan BPJS kesehatan yang hingga per 1 September 2017 telah mempunyai peserta 180.772.917 orang,” terangnya.
Sebagai penutup Heri menambahkan perbaikan bermula dari keenam faktor tersebut harus dilakukan. Jika tidak, maka diyakini lilitan defisit yang dialami BPJS Kesehatan tetap akan terus terjadi. Defisit keuangan BPJS Kesehatan seolah ibarat kuburan massal bagi keuangan negara yang bisa mengancam keberlangsungan JKN. (Red)
Jabar News | Berita Jawa Barat