Direktur Sustainability Development Le Minerale, Ronald Atmadja, mengamini hal tersebut. Le Minerale, katanya, aktif mendukung gerakan Ekonomi Sirkular dengan
membantu pemulung dan lapak di berbagai kota mengumpulkan lebih banyak sampah plastik agar bisa diolah dan dijual kembali untuk memenuhi keperluan industri daur ulang dalam negeri.
“Program kerja sekaligus untuk mendukung target Kementerian Lingkungan Hidup mengurangi impor sampah bekas (scrap) yang saat ini mencapai 50 persen dari kebutuhan industri daur ulang,” katanya.
Menurut Ronald, warga juga perlu didorong untuk membiasakan memilah sampah sejak dari level rumah tangga. “Orang kerap membuang sampah plastik begitu saja, digabungkan dengan sampah rumah tangga lainnya, dimasukkan dalam kemasan plastik yang lain. Akibatnya, sampah plastik yang bernilai ekonomi tinggi ikut tercemar dan pada akhirnya tercecer di lingkungan semisal Tempat Pembuangan Akhir sampah,” katanya. “Ini sejatinya lost opportunity, mengingat sampah plastik tak bisa dikembalikan lagi ke hulu industri untuk pengelahan kembali.”
Ketua Asoasiasi Daur Ulang Plastik, Christine Halim, menekankan hal serupa. Menurutnya, edukasi warga agar terbiasa memilah sampah plastik bisa sangat membantu menjaga kesinambungan siklus dan ritme industri daur ulang plastik. Dia mengapresiasi inisiatif Le Minerale yang giat mendukung industri daur ulang dalam negeri.
“Le Minerale ini brand nasional yang pertama kali mendorong gerakan Ekonomi Sirkular secara masif, mengedukasi publik lewat iklan-iklan sosial. Kami berharap brand lainnya ikut serta dalam hal serupa.”
Bagi I Made Janur Yasa, pendiri The Plastic XChange, sebuah organisasi nirlaba lingkungan berbasis Bali, kuncinya ada pada pembiasaan warga untuk memilah sampah dari lingkungan terdekat. “Seperti olah raga, pemilihan sampah plastik tak sekadar teori. Perlu praktik berulang, kalau perlu hingga 1.000 kali agar menjadi bagian dari kesadaran banyak orang,” ujar peraih CNN Heroes 2021 itu. (Red)