Direktur Utama PLN Darmawan Prasodjo mengatakan GHP adalah langkah strategis PLN untuk membangun rantai pasok green hydrogen pertama di Indonesia. Inisiatif hijau ini diharapkan mampu mengakselerasi transisi energi dan mencapai NZE tahun 2060.
“Hari ini menjadi bukti, we walk the talk bahwa komitmen ini kami wujudkan dalam bentuk nyata. Ini tidak hanya sekadar Green Hydrogen Plant, ini akan menjadi tonggak terbentuknya Supply Chain Green Hydrogen di Indonesia dan PLN menjadi pionirnya,” ungkap Darmawan.
GHP besutan PLN ini diproduksi dengan menggunakan sumber dari pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) yang terdapat di area pembangkit. Selain dihasilkan dari PLTS yang terpasang, hidrogen hijau ini juga menggunakan Renewable Energy Certificate (REC) yang berasal dari beberapa pembangkit EBT di Indonesia.
Dengan 21 unit GHP ini mampu memproduksi hampir 200 ton per tahun, dari sebelumnya hanya 51 ton hidrogen per tahun. Hasil produksi green hydrogen tersebut, sebanyak 75 ton per tahun digunakan untuk kebutuhan operasional pembangkit (cooling generator), sementara 124 ton lainnya bisa digunakan untuk berbagai macam kebutuhan, salah satunya untuk kendaraan.
“Lewat GHP ini, kami membangun bagaimana transisi sektor transportasi ke low carbon transport ini berjalan dengan baik. Tentu saja kalau kita berbicara transportasi, terdapat dua mazhab. Satu mengenai mobil listrik yang berbasis pada baterai. Kendaraan listrik sudah kita bangun ekosistemnya. Kemudian ada mahzab lain yaitu berbasis pada hidrogen. Ini perlu ada rantai pasok yang khusus, ini perlu ada green hydrogen,” tutur Darmawan.
Dengan rata-rata konsumsi hidrogen kendaraan 0,8 kg per 100 kilometer, maka 124 ton green hydrogen yang diproduksi bisa dipakai untuk 424 mobil per tahun yang bergerak 100 kilometer dalam sehari. Angka tersebut bisa menurunkan emisi karbon hingga 3,72 juta kg CO2 dan mengurangi impor BBM sebesar 1,55 juta liter per tahun, mengubah energi impor menjadi energi domestik.