JABARNEWS | JAKARTA – Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum, Sunarta mengatakan Jaksa Agung Burhanuddin menerbitkan regulasi yang memenuhi rasa keadilan masyarakat, yakni Peraturan Kejaksaan Agung Nomor 15 Tahun 2020 tentang penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif.
“Saatnya Penuntut Umum menangkap suara keadilan di masyarakat, dan menerapkan penghentian penuntutan terhadap perkara-perkara yang tidak layak dibawa ke pengadilan,” kata Sunarta kepada wartawan, Jumat (7/8/2020).
Menurut dia, Peraturan Kejaksaan 15/2020 ini dibangun dengan bangunan kognisi dan konstruksi logika yang tidak mudah. Karena, hukum acara pidana tidak mengenal mediasi penal dan filosofi keadilannya masih membalas daripada memulihkan.
“Oleh karena itu, kami harus membangun construction logic dengan membuat penyesuaian pada hukum yang masih berlaku (existing),” ujarnya.
Kemudian, kata Sunarta, hukum pidana materiil dan formil masih berorientasi pada pembalasan terhadap perbuatan pidananya saja (Daad Strafrecht) dan belum bergeser kepada perbuatan dan pelaku tindak pidana (Daad-Dader Strafrecht), apalagi terhadap paradigma kepentingan korban.
Ia mengatakan, jaksa sudah berpuluh-puluh tahun harus membawa perkara kecil ke pengadilan, perkara yang tidak besar kerugiannya, atau menyaksikan bapak-bapak atau ibu-ibu sepuh memasuki ruang sidang pengadilan yang mungkin harus dipapah.
“Belum lagi ketika korban yang kita wakili kepentingannya, justru tidak ingin memperpanjang kasus dan ingin berdamai. Tapi kita terpaksa harus melanjutkan perkaranya, sebab tidak ada alasan secara yuridis yang dapat dipakai untuk menghentikan perkara,” jelas dia.
Saat ini, kata dia, pendekatan keadilan itu sudah bergeser. Contohnya, bisa dilihat bagaimana kritik masyarakat ketika jaksa membawa kasus Nenek Minah ke pengadilan karena mencuri 3 biji kakao dan kasus asisten rumah tangga bernama Rasminah yang mencuri enam buah piring.
Selain itu, kakek Samirin di Simalungun yang mencuri getah karet milik PT Bridgestone dengan berat 1,9 kilogram dan dengan harga Rp 17.000 kemudian didakwa dengan UU Perkebunan. Nah, kasus-kasus seperti ini sering menjadi viral.
“Oleh karena bagi masyarakat, hukum tidak lagi guna untuk memproses terdakwa. Penumpukan beban perkara di pengadilan dan penjara penuh. Jadi, sampai perkara diputus akan ada banyak kerugian dan sangat tidak efisien. Bagi penegakan hukum, ketidakefisienan hanya membawa pada kesengsaraan masyarakat,” katanya.
Ke depan, lanjut Sunarta, asas kebebasan menuntut (discretionary prosecution) diharapkan menjadi bagian upaya perbaikan sistem peradilan pidana dalam rangka memperkuat single prosecution.
“Jaksa Agung telah berupaya menyusun peraturan sebaik yang bisa dilakukan untuk negeri, dan terbaik yang bisa dilakukan untuk keadilan,” tandasnya.
Peraturan Kejaksaan 15/2020, penutupan perkara demi kepentingan hukum diatur dalam Bab II Pasal 3. Kemudian, Bab III mengatur tentang syarat-syaratnya yang terdiri dari Pasal 4, Pasal 5 dan Pasal 6.
Pasal 5 Ayat (1) menyebutkan bahwa perkara tindak pidana dapat ditutup demi hukum dan dihentikan penuntutannya berdasarkan keadilan restoratif, dalam hal terpenuhi syarat di antaranya tersangka baru pertama kali melakukan tindak pidana (huruf a).
Kemudian, tindak pidana hanya diancam dengan pidana denda atau ancaman dengan pidana penjara tidak lebih dari lima tahun (huruf b). Selanjutnya, tindak pidana dilakukan dengan nilai barang bukti atau nilai kerugian yang ditimbulkan akibat dari tindak pidana tidak lebih dari Rp 25 juta. (Red)