Kekerasan Seksual di Lingkungan Pendidikan Masih Terjadi, Apa Solusinya?

Ilustrasi kekerasan seksual terhadap anak (Foto: Freepik)
Ilustrasi kekerasan seksual terhadap anak (Foto: Freepik)

JABARNEWS | PURWAKARTA – Dunia pendidikan Indonesia terus dihantui berbagai persoalan yang memprihatinkan. Di tengah berbagai tantangan seperti polemik kurikulum, sistem penerimaan peserta didik baru, dan tingginya biaya pendidikan, fenomena kekerasan di lingkungan pendidikan muncul sebagai masalah yang juga mengkhawatirkan.

Data dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) melalui sistem SIMFONI-PPA yang diakses pada Jum’at (17/01/2025), mengungkapkan fakta yang mencengangkan.

Sepanjang tahun 2024, tercatat 16.107 kasus kekerasan terhadap anak di Indonesia, dengan korban mayoritas adalah perempuan (12.326 orang) dan sisanya laki-laki (5.450 orang).

Kekerasan seksual mendominasi catatan kelam ini dengan 9.328 kasus, diikuti kekerasan fisik (4.356 kasus) dan kekerasan psikis (4.062 kasus). Bentuk kekerasan lainnya mencakup penelantaran, eksploitasi, hingga perdagangan manusia, dengan total lebih dari 3.000 kasus.

Lebih mengejutkan lagi, lingkungan pendidikan yang seharusnya menjadi tempat aman bagi anak-anak justru menyumbang angka yang signifikan. KemenPPPA mencatat 1.613 kasus kekerasan terhadap anak terjadi di sekolah dan 21 kasus di lembaga pendidikan kilat.

Meski angka ini lebih rendah dibanding kasus di lingkungan rumah tangga (8.113 kasus), namun tetap menunjukkan situasi yang mengkhawatirkan.

Data kekerasan terhadap anak yang terjadi sepanjang tahun 2024 (Foto: Tangkapan layar SIMFONI-PPA)
Data kekerasan terhadap anak yang terjadi sepanjang tahun 2024 (Foto: Tangkapan layar SIMFONI-PPA, diakses pada Jum’at, 17 Januari 2025)

Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) mempertegas kondisi ini dengan melaporkan peningkatan drastis kasus kekerasan di lingkungan pendidikan. JPPI mencatat dari 285 kasus di tahun 2023, angka ini melonjak hingga 573 kasus pada tahun 2024. Tren kenaikan ini sebenarnya telah terlihat sejak tahun 2020, yang dimulai dari 91 kasus dan terus meningkat setiap tahunnya.

Baca Juga:  Jurnalis Ramah Anak: Pilar Generasi Cerdas Menuju Bandung Kota Layak Anak

Berdasarkan data JPPI, dari total 573 kasus pada tahun 2024, kekerasan seksual mendominasi dengan proporsi 42%. Kasus perundungan menempati posisi kedua dengan 31%, diikuti kekerasan psikis sebesar 11%, kekerasan fisik 10%, dan kekerasan diskriminatif 6%. Angka-angka ini menunjukkan betapa kompleksnya permasalahan kekerasan yang terjadi di lingkungan pendidikan.

Yang memprihatinkan, data JPPI mengungkapkan bahwa justru tenaga pendidik atau guru menjadi pelaku kekerasan terbanyak dengan persentase 43,9%. Sementara peserta didik menyumbang 13,6%, dan tenaga kependidikan 2,5%. Sisanya dilakukan oleh berbagai pihak seperti petugas keamanan sekolah, orang tua, senior, geng sekolah, masyarakat, dan lain-lain.

Fenomena ini semakin nyata dengan munculnya berbagai kasus kekerasan seksual terhadap anak baru-baru ini. Di Tasikmalaya Jawa Barat, seorang pimpinan lembaga pendidikan menjadi tersangka kasus kekerasan seksual terhadap anak didiknya yang masih di bawah umur.

Sementara di Grobogan, Jawa Tengah, terungkap kasus seorang guru yang diduga melakukan pelecehan seksual terhadap siswanya selama dua tahun, dengan modus ancaman pemberian nilai buruk.

Situasi ini membutuhkan perhatian serius dari berbagai pihak. Langkah-langkah konkret dan sistematis harus segera diambil untuk memutus mata rantai kekerasan di lingkungan pendidikan, termasuk kekerasan seksual.

Upaya ini penting untuk memastikan sekolah kembali menjadi tempat yang aman dan nyaman bagi para peserta didik dalam menuntut ilmu.

Baca Juga:  Erick Thohir Minta Pemain Timnas Indonesia Berjuang Keras saat Hadapi Jepang

Pentingnya Pendidikan Seksual Sejak Dini

Maraknya kasus kekerasan di lingkungan pendidikan Indonesia, khususnya kekerasan seksual, telah memunculkan keprihatinan mendalam dari berbagai kalangan.

Psikolog lulusan Universitas Tarumanegara, Felycia Klaviera Mulyana, M.Psi, mengungkapkan bahwa permasalahan ini berakar dari beberapa faktor kompleks yang saling berkaitan, mulai dari minimnya pendidikan seksual hingga lemahnya sistem perlindungan terhadap korban.

Tak hanya kasus yang terjadi di lingkungan pendidikan, Felycia menggarisbawahi bahwa akar permasalahan kekerasan seksual yang terjadi di masyarakat berawal dari minimnya edukasi seksual.

“Sebenarnya, dimanapun berada, pelaku kekerasan seksual berakar dari faktor pendidikan yang minim mengenai seksualitas. Inilah mengapa pendidikan seksual sejak dini menjadi sangat krusial,” tegasnya.

Pendidikan seksual yang komprehensif, katanya, tidak hanya mengajarkan tentang anatomi tetapi juga cara menghormati dan memperlakukan lawan jenis dengan benar.

Menurut Felycia, pendidikan seksual harus dimulai sejak usia dini, bahkan sejak anak sudah bisa diajak berkomunikasi.

“Pendidikan seksual dimulai sejak anak sudah bisa diajak berbicara, sehingga masih dapat dipupuk sejak dini,” katanya.

Ia menerangkan bahwa orang tua dapat mengajarkan anak mengenai bagian tubuh yang boleh dilihat oleh orang lain dan bagian yang harus dijaga.

Anak juga perlu dikenalkan bahwa organ intim adalah bagian sensitif yang tidak boleh disentuh oleh orang lain, termasuk orang tua sendiri, kecuali dalam kondisi tertentu seperti kebutuhan medis.

Baca Juga:  DPRD Jabar Dukung Program Smart Fishing Nelayan

Selanjutnya, penyuluhan di sekolah menjadi penting untuk memastikan anak tidak merasa tabu membahas organ intim dan memahami bagaimana menjaga tubuh mereka sebagai sesuatu yang sangat berharga.

Dengan pengetahuan seksual yang tertanam sejak dini, menurut Felycia, anak akan memiliki pemahaman dasar yang membentuk pola pikir sehat dan membantu mereka menjaga diri dengan lebih baik.

“Dari situlah psikologisnya akan berlanjut menjadi logika dasar, dan lebih terjaga jika pengetahuan seksual sudah tertanam,” ujarnya.

Terkait kekerasan seksual di lingkungan pendidikan, murid kerap menjadi korban dengan modus intimidasi yang dilakukan oknum guru. Felycia menjelaskan bahwa faktor penyebabnya tidak hanya terbatas pada kurangnya pendidikan seksual sejak dini, melainkan juga berkaitan dengan kondisi sosial ekonomi.

Anak-anak dari keluarga berkecukupan umumnya memiliki perlindungan yang lebih baik berkat akses terhadap berbagai sumber daya. Sebaliknya, anak-anak dari keluarga prasejahtera cenderung lebih rentan menjadi korban kekerasan seksual.

“Kondisi psikologis mereka pun lebih mudah dimanipulasi,” jelas Felycia.

Pada keluarga prasejahtera, orang tua seringkali mengalami kebimbangan ketika anaknya menjadi korban kekerasan seksual. Anak-anak dalam situasi ini juga cenderung kehilangan kepercayaan diri dan kesulitan mencari pihak yang dapat memberikan perlindungan.

Meski demikian, kehadiran media sosial saat ini telah membuka akses yang lebih luas bagi mereka untuk mencari bantuan dan perlindungan hukum.