Kekerasan Seksual di Lingkungan Pendidikan Masih Terjadi, Apa Solusinya?

Ilustrasi kekerasan seksual terhadap anak (Foto: Freepik)
Ilustrasi kekerasan seksual terhadap anak (Foto: Freepik)

Ia juga menyoroti bagaimana perkembangan teknologi dapat memicu seseorang melakukan kejahatan seksual terhadap orang lain. Hal ini disebabkan oleh mudahnya akses informasi melalui smartphone yang sering kali tidak tersaring dengan baik.

Di Indonesia, lanjut Felycia, tingginya kepemilikan smartphone tidak berbanding lurus dengan kematangan emosional, intelektual dan spiritual penggunanya.

“Banyak yang memiliki smartphone namun tidak smart. Kecanggihan teknologi tidak sebanding dengan EQ, IQ, dan SQ,” tegasnya.

Namun, menurutnya, perkembangan teknologi informasi saat ini membuat kasus-kasus kekerasan seksual lebih mudah terungkap serta mendapatkan perhatian dari pihak-pihak terkait dan masyarakat.

Dalam konteks pemulihan korban, Felycia menekankan pentingnya pendekatan holistik. “Proses pemulihan trauma membutuhkan waktu dan mungkin tidak bisa mencapai kesembuhan 100%. Namun, dengan dukungan positif dari lingkungan dan penanganan psikologis yang tepat, korban dapat menjalani proses penyembuhan secara bertahap,” jelasnya.

Felycia menjelaskan dampak panjang kekerasan seksual yang dialami korban bergantung pada tiga faktor utama, yaitu personal, dukungan orang tua, dan lingkungan sosial atau teman terdekat.

“Jika faktor personal tidak bisa menerima, namun faktor orang tua dan teman kuat, maka besar kemungkinan ia akan merasa ‘aman’ dan memiliki pendukung mengembalikan kepercayaan diri untuk bangkit, walaupun masih tersimpan memori buruk tersebut,” jelasnya.

Namun sebaliknya, tanpa dukungan atau bahkan mengalami perundungan, risiko munculnya pikiran dalam diri korban untuk mengakhiri hidup menjadi sangat tinggi.

Baca Juga:  Presiden Jokowi Akan Datang ke Kabupaten Subang Hadiri Berbagai Kegiatan

Felycia juga menyoroti kelemahan dalam sistem perekrutan CPNS, termasuk tenaga pendidik. “Perekrutan CPNS maupun lainnya di pemerintahan hanya berisi tes IQ dan kepribadian dasar untuk lolos. Padahal tes yang penting adalah tes kejiwaan, misalnya MMPI Test,” katanya.

Minimnya literasi tentang psikologi di Indonesia, lanjutnya, membuat aspek kesehatan mental sering dianggap sekedar formalitas administrasi dasar saja. Berbeda dengan sektor swasta yang sudah banyak menerapkan tes kejiwaan dalam proses rekrutmen.

“Untuk masuk perusahaan swasta, sudah banyak yang memakai tes kejiwaan,” pungkas Felycia.

Guru Harus Paham Filosofi Tujuan Pendidikan

Tak hanya psikolog, maraknya kasus kekerasan yang melibatkan oknum guru di lingkungan pendidikan pun menarik perhatian akademisi ilmu pendidikan.

Dosen Ilmu Pendidikan Universitas Islam Dr. KH. EZ. Muttaqien Purwakarta (UNISMU), Dr. Srie Muldrianto, M.Pd, menegaskan pentingnya guru memahami landasan filosofis dari tujuan pendidikan.

“Pendidikan pada dasarnya adalah memberikan nilai bagi manusia,” tegas Dr. Srie yang akrab disapa Asep Purwa ini.

Asep Purwa menjelaskan bahwa filsafat manusia merupakan landasan fundamental dalam menentukan tujuan pendidikan.

“Manusia secara fisik dapat dinilai melalui biologi, secara psikis oleh psikologi, dan secara sosial dapat dinilai secara sosiologis, tetapi semua itu perlu dilandasi oleh nilai-nilai manusia secara filosofis,” jelasnya.

Baca Juga:  Prajurit TNI Bantu Pasang Bata Pembangunan Rumah Warga

Menurut Asep Purwa, berbagai aliran pendidikan, mulai dari parenial, pragmatis, realis, hingga idealis, telah memberikan pemahaman mendalam tentang esensi manusia dan tujuan pendidikan. Tujuan utamanya adalah menciptakan manusia paripurna sesuai dengan ideologi Bangsa Indonesia.

Ia pun mengungkapkan pendidikan sejati adalah proses memerdekakan anak untuk menjadi manusia bertanggungjawab.

“Guru adalah manusia dewasa dan murid adalah manusia yang perlu didewasakan. Kedewasaan itu lebih pada tanggungjawab. Orang yang bertanggungjawab adalah orang yang merdeka. Jadi memang pendidikan adalah dalam rangka memerdekakan anak untuk menjadi manusia bertanggungjawab,” terangnya.

Lebih lanjut, menurut Asep Purwa, seorang guru akan sulit memahami tugas-tugas guru yang sesungguhnya tanpa pemahaman landasan filosofis pendidikan yang kuat. Ia mengungkapkan bahwa tugas guru itu begitu pelik, rumit dan multi dimensi.

Menurutnya, menjadi guru tidak hanya harus menguasai ilmu pedagogik, tetapi juga harus memiliki seni dalam menghadapi manusia lainnya.

Dosen ilmu pendidikan ini juga menyebut, tugas guru adalah tugas ilahiyah. Ketika menjalankan tugas, seorang guru akan mendapatkan keridhoan Allah SWT.

“Keyakinan ini sejatinya dimiliki oleh guru,” tambahnya.

Asep Purwa menerangkan bahwa peranan seorang guru dalam masyarakat seperti peran Nabi yang tersirat dalam Al-Qur’an di Surat Al-Jumu’ah, yakni bukan hanya menyampaikan ilmu dan mengajarkan pengetahuan, tetapi juga mensucikan jiwa murid.

Baca Juga:  AKBP Indra Setiawan Pindah Tugas, Begini Tanggapan Masyarakat Purwakarta

“Dalam Surat Al-Jumu’ah, guru yaitu Nabi diutus bukan hanya membacakan, mengajar tapi juga mensucikan, bukan malah mengotori pikiran murid dengan meremehkan dan membuat murid frustasi dan lain-lain,” terangnya.

Kualitas guru, menurut Asep Purwa, menjadi kunci dalam menciptakan pendidikan berkualitas. Ia mengatakan guru yang ideal adalah guru yang memiliki kemauan dan kemampuan yang cerdas secara spiritual, emosional, sosial dan intelektual.

“Calon guru yang ideal adalah mereka yang memiliki kemauan dan kemampuan, cerdas akalnya, baik perilakunya, dan lembut hatinya,” katanya.

Ia juga mengungkapkan Program Pendidikan Profesi Guru (PPG) yang saat ini diterapkan sudah menunjukan arah yang tepat untuk mendapatkan guru yang ideal, terutama untuk program PPG Prajabatan.

“PPG Prajabatan menerapkan seleksi yang cukup ketat dan bertahap, mulai dari seleksi administrasi, tes tulis, hingga wawancara. Tujuannya jelas, yakni mendapatkan calon guru yang ‘mau dan mampu’,” jelas dosen ilmu pendidikan yang juga bertugas sebagai asesor seleksi PPG ini.

Asep Purwa menerangkan tes kompetensi dalam seleksi guru PPG Prajabatan ini meliputi kemampuan kerjasama, toleran, agility, komunikasi, kejujuran, semangat pantang mundur, dan faktor-faktor lain terkait kelebihan dan kekurangan para calon guru.