JABARNEWS | BANDUNG – Kementerian Pertanian (Kementan) sebelumnya telah mengeluarkan keputusan yang memasukkan ganja ke tanaman obat binaan. Namun belakangan Kementan mencabut Keputusan Menteri Pertanian Nomor 104 tahun 2020 tersebut.
Wakil Ketua Komisi IV DPR RI Dedi Mulyadi pun menyambut baik perihal tersebut. Ia menilai alih-alih mengurusi masalah ganja, Kementan diminta fokus pada masalah beras dan tanaman palawija.
“Daripada mengurusi ganja yang memusingkan, Kementerian Pertanian lebih baik fokus pada masalah beras dan tanaman palawija yang mengenyangkan,” ujar Dedi, Minggu (30/8/2020).
Dedi mengatakan, ganja sampai hari ini di Indonesia masuk ke katagori tanaman dilarang, baik membudidayakan, menjual maupun menggunakannya.
Undang-undang jelas mengatur tentang larangan itu sehingga sampai sekarang belum bisa dipahami sebagai obat dalam kaidah hukum RI.
“Mungkin di negara lain, saya dengar di Thailand (ganja jadi tanaman obat) mungkin sudah, RI belum dari sisi aspek regulasi,” katanya.
Selain dari aspek hukum, lanjut Dedi, ganja sebagai obat harus disampaikan berdasarkan penelitian ilmiah oleh Kementerian Kesehatan, bukan Kementerian Pertanian.
Kemenkes melakukan pengkajian dan analisis, sehingga hasilnya menjadi sesuatu yang bersifat akademis, bukan hanya wacana berpikir yang memicu perdebatan.
“Kemudian memang dalam pengalaman perjalanan hukum di negeri ini, dulu ada peristiwa suami tanam ganja demi pengobatan istri, tetapi tetap suami menjalani proses pidana. Suami menjalani pidana,” katanya.
“Dari sisi keinginan kita hargai, tapi karena hari ini seluruh tindakan kita itu terikat oleh UU, maka pikiran dan gagasan itu dibicarakan secara komprehensif menjadi aspek-aspek produk yang bersifat yuridis karena ada hukum yang mengatur,” katanya.
“Dibicarakan di internal eksekutif, dengan yudikatif. Sehingga tidak menjadi wacana yang bersifat liar dan kontra produktif,” lanjutnya.
Dedi mengatakan, keputusan menteri tidak bisa mengubah undang-undang. Jika ingin membangun wacana itu, maka harus dimulai dari perubahan undang-undang.
Kemudian perubahan undang-undang itu harus didasarkan fakta empiris bahwa ganja bisa digunakan sebagai obat.
“Yang miliki otoritas menyatakan itu tanaman obat atau bukan, memiliki manfaat kesehatan bagi manusia atau tidak, itu otoritas Kemenkes. Dari sisi kelembagaan ya IDI,” tandas Dedi. (Red)