Kritisi Kementerian Pertanian, Dedi Mulyadi Jelaskan Alasan Harga Kedelai Naik

JABARNEWS | BANDUNG – Wakil Ketua Komisi IV DPR RI Dedi Mulyadi mengatakan, melambungnya harga kedelai yang membuat pengusaha tempe dan tahu kelimpungan itu karena dua faktor.

Pertama adalah swasembada pangan di dalam negeri sampai sekarang belum tercapai. Lalu kedua impor mengalami berbagai problem karena keadaan situasi dunia saat ini, yakni pandemi Covid-19 yang belum berakhir.

“Impor terutama bahan pangan, hari ini negara impor tak kirim. Mereka cenderung membuat pertahanan pangan dalam negeri sebagai antisipas kemungkinan Covid-19 belum berakhir,” kata Dedi kepada Kompas.com melalui sambungan telepon, Selasa (5/1/2021).

Namun Dedi mengatakan, pihaknya tidak akan membicarakan lebih jauh soal kondisi negara eksportir. Ia menyoroti rencana kerja Kementerian Pertanian terkait penanaman kedelai yang menyebabkan masalah swasembada pangan dinilainya belum tercapai.

Hal itu dianggapnya menjadi salah satu faktor penyebab kelangkaan kedelai hingga harganya di dalam negeri kian mahal.

“Kita harus jujur deh bahwa petani ini kan sampai saat ini berjalan sendiri. Kebutuhan petani dari pemerintah yang hari ini dirasakan mereka hanya pada penyediaan pupuk dan infrastruktur. Sementara bimbingan teknis terhadap petani dari para petugas seperti membuat desain dan rencana kerja bagi petani, makin sekarang makin tak ada. Beda dengan era-era dulu,” jelas Dedi.

Dedi mengatakan, petani saat ini enggan menanam kedelai hingga mengakibatkan Indonesia tergantung pada impor.

Baca Juga:  Ketua KPK Merasa Terganggu Terkait Isu Dirinya di Bursa Pilpres

Berdasarkan data yang diperolehnya, kebutuhan kedelai di Indonesia setiap tahun rata-rata mencapai 2,8 juta ton. Alokasinya 70 persen untuk tempe, 20 persen untuk tahu dan sisanya untuk bahan kecap.

Untuk memenuhi kebutuhan kedelai itu, Indonesia harus impor 2 sampai 2,5 juta ton. Sebagian besar dari Amerika Serikat dan sisanya dari Kanada.

Dedi menjelaskan, penyebab petani enggan menanam kedelai adalah pertama bahwa sampai hari ini Kementerian Pertanian tidak memiliki rencana kerja yang strategis dan memadai tentang penanaman kedelai.

Rencana dimaksud, misalnya, pemetaan berapa ratus ribu hektare area kedelai yang harus ditanam. Lalu berapa jumlah kebutuhan pasar kedelai dalam negeri setiap tahun. Kemudian dibuat rencana kerja untuk memenuhi kebutuhan tersebut.

“Namun faktanya rencana kerja itu tidak ada. Yang tanam kedelai itu alamiah saja, yang mau nanam, ya nanam. Yang nggak, ya nggak,” kata Dedi.

Menurutnya, jika pemerintah dalam hal ini Kementan tidak memiliki rencana kerja memadai tentang kedelai, sampai kapan pun swasembada dalam negeri tak akan tercapai.

Dedi mengatakan, sebenarnya jika ada rencana kerja, kedelai juga bisa dipenuhi oleh pasokan masyarakat jika proses penanaman padi dibuat seperti dulu, yakni dua kali menanam padi dan satu kali menanam tanaman penyelang dalam dua musim itu.

Baca Juga:  Pendaftaran Anggota Polri 2022-2023 Segera Dibuka, Cek Syaratnya

Misalnya, November sampai April dua kali menanam padi. Lalu pada Mei menanam kacang, mentimun, kacang hijau dan kacang kedelai.

“Pada Mei ini, kan bisa sebenarnya petani digerakkan untuk menanam kedelai secara bersama dengan memanfaatkan areal tanaman padi penyelang tahunan,” katanya.

Menurutnya, dulu pemerintah membuat rencana kerja seperti itu. Dedi pun mengaku pernah mengalami masa-masa itu.

“Saya kan anak petani mengalami hal seperti itu. Pada bulan Mei itu saya menanam suuk (kacang tanah), kedelai dan kacang hijau. Tujuannya untuk menjaga kesuburan tanah agar bakteri penyubur itu tumbuh. Itu yang selalu diajarkan oleh PPL (petugas penyuluh lapangan). Nah, hari ini itu tidak ada,” katanya.

Dedi menyebutkan alasan petani enggan menanam kedelai karena seringkali tanaman di luar padi pasca-panen tak ada yang membeli.

Untuk jagung saja hari ini, misalnya, petani cenderung memilih jenis jagung manis karena bisa dipasarkan sendiri. Misalnya direbus dahulu untuk dijual. Namun kalau jagung untuk pakan dan konsumsi, petani tidak mau menanamnya karena tidak akan ada yang membeli.

“Nah, kedelai juga sering kali petani tak sampai tuntas menanamnya. Kedelai masih muda sudah dipanen dan dipotong untuk direbus lalu dijual. Kenapa tak sampai tuntas karena harus dijemur, dan setelah jadi kedelai tak ada yang beli,” katanya.

Baca Juga:  Tokoh Pemuda Ini Bicara Tantangan Generasi Muda Milenial Di Era Digital

Penyebab petani kesulitan menjual kedelai kering karena perdagangannya sudah terkuasai oleh jaringan swasta yang cenderung mengambil bahan impor. Jaringan swasta lebih tertarik pada kedelai impor karena kualitasnya sudah terstandar dan untungnya juga sudah bisa terprediksi.

“Belinya juga gampang. Beli dari luar negeri, diangkut pakai kapal, dikirim langsung ke dalam negeri, dikirim ke konsumen,” katanya.

Sementara kalau membelinya dari petani, kedelai harus ditimbang di lapangan lalu diangkut. Ditimbangnya pun harus satu-satu. Misalnya satu petani menjual 10 kilogram dan petani lainnya menjual 11 kilogram. Ditimbang di lapangan. Menurut Dedi, itu bagi jaringan swasta sangat ribet.

Oleh karena itu, Dedi menyarankan agar jaringan distribusi kacang kedelai dikuasai negara melalui sebuah lembaga. Nanti lembaga tersebut membuat kontrak dengan petani kedelai. Negara memberi subsidi kepada petani kedelai melalui program hingga mereka bisa mandiri.

“Petani disubsidi dulu beberapa saat. Misalnya, nih negara mau tanam kedelai, Anda yang kerjakan. Tetapi agar Anda tak berspekulasi dan takut gagal, per hektar saya bayar dulu, uang sewa sekian,” katanya.

Lalu untuk penjualannya, pemerintah bisa bekerja sama dengan pengusaha yang tergabung dalam Koperasi Pengusaha Tempe dan Tahu Indonesia (Kopti). Kementerian Pertanian menyiapkan kedelai yang dibeli dari petani, lalu dipasok ke pengusaha.

Sumber: Kompas